Mendambakan Hukum yang Responsif dalam Pengaturan Ketamine
Kolom

Mendambakan Hukum yang Responsif dalam Pengaturan Ketamine

Urgensi dan penetapan ketamine dalam Daftar Narkotika Golongan I ini tidak menimbulkan permasalahan sepanjang ada pengaturan yang membatasi penggunaan ketamine hanya dalam bidang medis, khususnya dalam prosedur anestesi.

Bacaan 8 Menit
Mendambakan Hukum yang Responsif dalam Pengaturan Ketamine
Hukumonline

Beberapa tahun yang lalu, petugas Bea dan Cukai Bandara Soekarno Hatta menggagalkan penyelundupan ketamine dengan total berat bruto 26 kg senilai Rp19,5 miliar. Paket ketamine dari India tersebut masuk ke Indonesia, disamarkan sebagai paket mangkuk es krim dengan tulisan, “Free sample of Empty Ice Cream Bowl (Made of Steel) + Plastic Bowls Cap” pada bungkus paketnya.

Sekitar dua tahun yang lalu, Polresta Bandara Soekarno Hatta menangkap seorang Warga Negara Asing (WNA) atas penyalahgunaan ketamine dengan barang bukti paket berisi 1,028 kg ketamine. Ketamine dapat dipergunakan sebagai prekursor narkotika. Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika. Ketamine dapat dipergunakan sebagai campuran pada tablet ekstasi yang beredar secara ilegal.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika belum mengategorikan ketamine dalam Daftar Narkotika Golongan I. Demikian juga dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2022 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika, belum mengkategorikan ketamine dalam Daftar Narkotika Golongan I. Permenkes ini telah diubah dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2022.

Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya yang berjudul, “Law and Society in Transition, Toward Responsive Law”, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Hukum bersifat responsif, dengan karakteristik utamanya adalah terbuka dan mengakomodasi berbagai perubahan sosial demi tercapainya keadilan dan emansipasi publik. Dalam hal ini, fungsi hukum tidak sekadar dititikberatkan pada kepastian hukum, tetapi juga kemanfaatan hukum.

Baca juga:

Manfaat Ketamine

Ketamine merupakan anestesi disosiatif (penenang) yang memiliki beberapa efek halusinogen (efek halusinogen adalah efek halusinasi yang bersifat mengubah perasaan, pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu). Oleh karena itu, ketamine sering dipergunakan untuk proses pembiusan umum yang dapat mempengaruhi dan menurunkan tingkat kesadaran pasien sebelum dilakukan prosedur medis.

Ketamine dapat mengaktivasi sistem saraf simpatis (sistem saraf otonom yang bekerja di luar kesadaran tubuh dan berpangkal pada sumsum tulang belakang) dan berhubungan dengan peningkatan tekanan darah serta takikardia (kondisi jantung yang berdetak melebihi 100 kali per menit. Takikardia dapat terjadi sebagai respon dari kondisi normal, penyakit, atau gangguan irama jantung atau aritmia).

Sediaan ketamine terdiri dari serbuk, pil atau kapsul, cair. Namun, dalam perkembangannya ketamine banyak diproduksi sebagai cairan suntik yang bening dan bubuk berwarna terang. Adapun nama dagang ketamine meliputi Anaket, Anasket, Anesketin, Brevinase, Brevinaze, Calypsol, Calypsovet, Chlorketam, Imalgene, Inducmina, Kalipsol, Ketalar, Ketaset, Ketmex, Ketotal, Ketamine-500 (astrapin), dan Imalgen.

Ketamine merupakan jenis obat bius total atau anestesi umum yang dapat diberikan kepada pasien dalam tindakan medis, salah satunya adalah sebagai penghilang nyeri. Ketamine tidak menimbulkan nyeri dan tidak menimbulkan iritasi, obat ini dapat merangsang kardiovaskuler yaitu dipertahankannya tekanan darah pada penderita dengan risiko buruk dan sebagai bronkodilator (bronkodilator adalah kelompok obat yang digunakan untuk meredakan gejala akibat penyempitan saluran pernapasan, seperti batuk, mengi, atau sesak napas. Asma dan penyakit paru obstruksi kronis adalah dua kondisi yang sering diobati dengan bronkodilator).

Ketamine juga dipergunakan untuk sedasi pasien pediatri (pediatri adalah pasien berusia muda, yaitu bayi dan anak hingga remaja atau dewasa muda dengan usia berkisar antara 18 hingga 21 tahun) yang menjalani prosedur di luar kamar operasi. Ketamine sering dipergunakan untuk sedasi atau anestesi umum, salah satunya pada pasien di unit perawatan kritis karena memiliki efek sedatif (suatu keadaan terjadinya penurunan kepekaan terhadap rangsangan dari luar karena ada penekanan sistem saraf pusat yang ringan) dan analgesik (pereda nyeri atau painkiller) serta pengaruh pada hemodinamik (dinamika aliran darah).

Selain dalam prosedur anestesi, ketamine menjadi salah satu obat yang digunakan dalam prosedur medis di ICU. Hal ini dikarenakan ketamine memiliki kegunaan untuk menghilangkan rasa sakit dalam mekanisme medis, sehingga ketamine dapat berfungsi sebagai obat dalam analgesia (proses menghilangkan nyeri). Ketamine sebagai obat dalam analgesia dapat berperan sebagai pereda nyeri yang menghilangkan rasa sakit dengan cara mengurangi peradangan di tempat rasa sakit atau dengan mengubah persepsi rasa sakit di otak tetapi tidak mengatasi penyebab yang mendasarinya. Ketamine dalam analgesia ini berguna untuk penanganan nyeri akut pada beberapa kondisi sakit dan penanganan nyeri pasca operasi. Ketamine merupakan obat yang memiliki mekanisme kompleks dan memiliki banyak sifat untuk dapat meredakan berbagai nyeri.

Pemberian ketamine dalam dosis yang tepat dapat memulihkan Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) pada penderita penyakit asma. Asma adalah suatu kondisi kronis yang ditandai dengan peradangan di saluran pernapasan. Gejala umum asma termasuk sesak napas yang memburuk dengan dibarengi aktivitas mengi, dan batuk. Aliran udara yang dihembuskan dari paru-paru dapat dibatasi karena peradangan atau penyumbatan akibat kelebihan lendir. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) atau puncak laju aliran pernapasan adalah tes yang mengukur seberapa cepat seseorang bisa menghembuskan napas. Tes ini memeriksa fungsi paru-paru, dan sering digunakan untuk pasien yang memiliki penyakit asma.

Pada penyakit jantung dan gangguan jalan nafas, ketamine berperan sebagai stimulan dalam menstabilkan jalan nafas bagi yang memiliki gangguan jalan nafas. Anestesi ketamine berperan mengatasi penyakit atau gangguan jantung yang meliputi: tamponade jantung (tamponade jantung merupakan suatu kondisi gawat darurat, di mana terdapat cairan atau darah pada ruang antara otot jantung dengan selaput pembungkus jantung atau perikardium. Pada keadaan normal, cairan atau darah ini tidak ada pada ruangan tersebut); pericarditis (peradangan) restriktif; penyakit jantung kongenital (penyakit jantung bawaan atau congenital heart disease adalah kelainan pada struktur dan fungsi jantung yang sudah ada sejak lahir. Kondisi ini dapat mengganggu aliran darah dari dan menuju ke jantung sehingga bisa mengancam jiwa). Hal ini karena ketamine mempertahankan frekuensi jantung dan tekanan atrium kanan melalui efek stimulan simpatetik sehingga membuat ketamine menjadi pilihan obat yang tepat untuk induksi dan maintenance pada kondisi dalam penyakit jantung.

Ketamine berperan untuk mengatasi sepsis. Sepsis adalah komplikasi berbahaya akibat respon tubuh terhadap infeksi. Kondisi ini dapat menyebabkan tekanan darah turun drastis sehingga terjadi kerusakan pada organ dan jaringan tubuh, bahkan bisa mengancam nyawa penderitanya. Ketamine dapat dipergunakan sebagai imunoterapi sepsis dengan memodulasi konsentrasi kalsium intraseluler.

Ketamine juga berperan untuk mengendalikan gejala depresi. Perawatan dengan ketamine berperan dalam mengatasi depresi berat yang sulit disembuhkan, nyeri kronis, dan gangguan bipolar. Ketamine dosis rendah efektif dalam mengobati gangguan bipolar, nyeri kronis, Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), kecanduan dan lain sebagainya. Dalam kasus depresi berat yang tidak responsif terhadap pengobatan medis lainnya, infus ketamine efektif untuk mengatasi hal tersebut. Dalam sistem kerja otak, ketamine dapat menghasilkan protein yang mampu memperbaiki tingkat kecemasan dan dapat mereduksi fungsi otak yang berpotensi menyebabkan depresi.

Berdasarkan hasil penelitian terbaru dari Dr. Steve Levine (“Ketamine Depression Treatment”, yang dapat diakses melalui Youtube, ketamine dapat memfasilitasi terapi bicara terutama dalam hal atau kondisi seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) atau Terapi Kognitif Perilaku yang merupakan jenis terapi berbasis keterampilan belajar. Terapi Kognitif Perilaku ini terbukti efektif dalam menangani gangguan kesehatan mental lainnya, seperti: fobia, gangguan pola makan, gangguan tidur, penyalahgunaan alkohol, gangguan panik, gangguan seksual, gangguan bipolar, skizofrenia, Obsessive Compulsive Disorder (OCD), Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), kleptomania.

Rekomendasi

Saat ini, pengaturan mengenai ketamine masih merupakan ranah dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang tersebut mengatur ketamine sebagai salah satu obat keras dan dipergunakan sebagai obat injeksi. Ketamine belum merupakan bagian dari pengaturan dari UU Narkotika.

Berdasarkan UU Kesehatan, anestesi ketamine dan sediaannya termasuk dalam salah satu jenis obat keras serta dipergunakan sebagai obat injeksi dalam prosedur medis yang dapat bekerja secara sole agent. Pengaturan mengenai anestesi ketamine dalam UU Kesehatan, kemudian diterjemahakan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/659/2017 tentang Formularium Nasional (Fornas).

Anestesi Ketamine termasuk dalam Sub Kelas Anestetik Umum dan Oksigen yang merupakan daftar obat terpilih, dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Implementasi dari Fornas ini bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan menjamin aksesibilitas obat yang memadai. Aksesibilitas obat bertujuan untuk mewujudkan peredaran obat yang terjangkau, bermutu, berkhasiat, aman, dan cukup, baik dalam jenis, maupun dalam jumlah. Obat yang masuk dalam daftar obat Fornas adalah obat yang berkhasiat, aman, dan dengan harga terjangkau yang disediakan serta dipergunakan sebagai acuan untuk penulisan resep dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Secara spesifik, peran dan keberadaan ketamine ini memiliki kegunaan dalam prosedur medis, salah satunya pada proses anestesi. Namun, hal yang perlu menjadi perhatian ialah ketika ada orang yang tidak kompeten dalam menggunakannya sehingga terjadi penyalahgunaan ketamine.

UNODC (United Nations Office on Drug and Crime) menggolongkan ketamine sebagai New Psychoactive Substances (NPS). UNODC mendefinisikan bahwa NPS merupakan zat yang disalahgunakan, baik dalam bentuk murni maupun sediaan, yang tidak diatur oleh The Single Convention on Narcotic Drugs, 1961 dan The Convention on Psychotropic Substances of 1971, tetapi dapat menimbulkan ancaman kesehatan masyarakat. UNODC menyamakan keberadaan ketamine dengan narkoba sintetis lainnya yaitu metamfetamin, opioid sintetis, pil ekstasi dan kanabinoid. UNODC menyatakan bahwa pasar narkoba sintetis di Asia Timur dan Asia Tenggara terus berkembang serta semakin beragam.

United States Drug Enforcement Administration (DEA) menyatakan bahwa ketamine merupakan obat, zat, atau bahan kimia Golongan III. Ketamine digolongkan sebagai obat dengan potensi ketergantungan fisik dan psikologis sedang hingga rendah, perubahan persepsi terhadap warna dan/atau suara, halusinasi, delirium, kebingungan, kesulitan belajar dan berpikir, mati rasa, gerakan-gerakan otot tak terkendali, kejang-kejang, gangguan bicara, meningkatnya tekanan di otak dan mata yang menyebabkan pembengkakan otak, lesu pada syaraf otak, tumor dan glaukoma, mudah lupa dan kesulitan mengendalikan gerakan mata.

Peredaran dan penyalahgunaan ketamine di Indonesia, menjadi perhatian dari Badan Narkotika Nasional (BNN). Dimana, ketamine sudah lama diusulkan oleh BNN kepada Kementerian Kesehatan untuk ditetapkan dalam Daftar Narkotika Golongan I, karena penggunaannya yang tidak secara normal dan penyalahgunaan oleh orang-orang yang tidak kompeten. Pusat Penelitian, Data dan Informasi BNN merilis barang bukti sitaan dari peredaraan ketamine ini mencapai 50,000,00 Millilitres dari 6,894 penanganan kasus Narkotika.

Ketamine merupakan jenis psikotropika berbahaya dan harganya lebih mahal dari sabu-sabu. Di beberapa negara, ketamine dijadikan sebagai psikotropika golongan satu dengan harga yang cukup mahal mencapai Rp2 juta per gram. Namun, hingga saat ini, sediaan ketamine di Indonesia belum digolongkan sebagai narkotika, tetapi merupakan sediaan farmasi. Padahal, ketamine dapat disalahgunakan sebagai bahan baku narkotika atau psikotropika. Efek yang diakibatkan dari penyalahgunaan ketamine sama berbahayanya dengan psikotropika lainnya seperti sabu dan heroin.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) UU Narkotika, Kemenkes mempunyai kewenangan untuk melakukan perubahan penggolongan narkotika dan mengaturnya dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Namun, ada kekhawatiran, ketika nantinya ketamine masuk dalam Daftar Narkotika Golongan I maka implikasinya adalah ketamine tidak akan dapat dipergunakan lagi dalam tindakan medis, khususnya dalam injeksi anestesi. Padahal, di lain pihak, pengaturan ketamine dalam Daftar Narkotika Golongan I adalah sesuatu hal yang urgent untuk mengatasi penyalahgunaan ketamine. Dimana, jika ketamine masuk dalam Daftar Narkotika Golongan I, akan berpengaruh terhadap pemberian sanksi terhadap pihak yang terlibat dalam penyalahgunaan ketamine. Dalam proses penegakan hukum juga dapat melibatkan BNN.

Seharusnya, urgensi dan penetapan ketamine dalam Daftar Narkotika Golongan I ini tidak menimbulkan permasalahan sepanjang ada pengaturan yang membatasi penggunaan ketamine hanya dalam bidang medis, khususnya dalam prosedur anestesi. Pengaturan tersebut harus menjamin ketersediaan ketamine dalam bidang medis dan restriksi hanya pada dokter spesialis anestesi yang memiliki kewenangan dalam penggunaannya.

Semoga, hukum dapat merespon aspirasi publik dan perubahan sosial terkait dengan pengaturan ketamine ini sehingga dapat mewujudkan kepastian dan kemanfaatan hukum.

*)Wahyu Andrianto, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait