Mendorong Pelembagaan Amicus Curiae dalam Sistem Hukum Indonesia
Berita

Mendorong Pelembagaan Amicus Curiae dalam Sistem Hukum Indonesia

Jika amicus curiae diatur lebih lanjut dengan aturan tertentu, tidak semua perkara dapat dicampuri dengan amicus curiae. Misalnya, harus dijelaskan secara spesifik perkara apa saja yang bisa dimasukkan amicus curiae dan lain-lain.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Diskusi Webinar Hukumonline bertajuk 'Masa Depan Amicus Curiae dalam Sistem Hukum di Indonesia', Kamis (9/4). Foto: RES
Diskusi Webinar Hukumonline bertajuk 'Masa Depan Amicus Curiae dalam Sistem Hukum di Indonesia', Kamis (9/4). Foto: RES

Praktik Amicus Curiae atau sahabat peradilan diterapkan di banyak negara dan sudah diterapkan pula di Indonesia dalam beberapa kasus. Namun, hingga saat ini belum ada regulasi yang jelas mengenai amicus curiae sebagai bentuk intervensi (campur tangan) baik perorangan maupun kelompok yang bukan pihak dalam suatu perkara di pengadilan, tapi memiliki kepentingan kuat memberi pendapat dan/atau rekomendasi membantu pengadilan menjernihkan persoalan untuk menemukan keadilan.

 

Pengajar Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHI Jentera) Miko Susanto Ginting mengatakan amicus curiae awalnya berkembang di negara-negara common law. Seiring berjalannya waktu amicus curiae juga mulai diadopsi di negara-negara civil law dan pengadilan atau tribunal internasional, seperti dispute settlement di WTO, arbitrase Internasional, dan International Criminal Court (ICC).

 

“Amicus curiae memang bukan mekanisme formal dalam badan peradilan Indonesia, tetapi dia mendorong pihak peradilan dalam tatanan kebutuhan sosial dan kebutuhan sosial ini perlu dimiliki oleh peradilan,” kata Miko dalam Diskusi Webinar Hukumonline bertajuk "Masa Depan Amicus Curiae dalam Sistem Hukum di Indonesia", Kamis (9/4/2020).

 

Ia mengutib pendapat Collins, tujuan amicus curiae memberi posisi hukum alternatif dari suatu kasus, informasi faktual, dan pengetahuan suatu persoalan, serta perspektif implikasi kebijakan dari putusan hakim. Karena, kata dia, amicus curiae pengadilan tidak hanya memeriksa dan memutus perkara yang sifatnya case, tetapi diekspektasikan dapat menyelesaikan persoalan sosial.

 

“Dalam konteks peradilan, amicus curiae dapat menjadi penyeimbang posisi para pihak (equality of arms) termasuk kepentingan publik dan mendorong kualitas putusan pengadilan terutama dukungan informasi empiris. Ini perlu didukung oleh sistem yurisprudensi yang kuat agar menjadi presedent, namun sayang saat ini belum ada yurisprudensi yang pertimbangan hakimnya menggunakan masukan dari amicus curiae,” bebernya.

 

Padahal, ia melihat di beberapa negara atau pengadilan internasional, amicus curiae tidak hanya dapat diajukan oleh individu atau kelompok, tapi juga negara (Koichi Mera and GAHT-US Corporation vs City of Glendale (2017). Miko mengakui aturan mengenai amicus curiae ini tidak diatur secara implisit. Namun, jika dilihat dalam UU Kekuasaan kehakiman, “hakim wajib menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

 

Dalam KUHAP terdapat ketentuan yang menyebutkan “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.”  

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait