Mendorong Pembenahan Tata Kelola Penempatan dan Perlindungan ABK
Utama

Mendorong Pembenahan Tata Kelola Penempatan dan Perlindungan ABK

Melalui Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal dan Pelaut Perikanan yang perlu segera diterbitkan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: RES
Foto ilustrasi: RES

Persoalan yang menimpa pekerja migran Indonesia seolah tak pernah selesai dan terus berulang. Belum lama ini ramai diberitakan mengenai jenazah anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang dilarung ke laut dari kapal penangkap ikan berbendera Tiongkok. Ternyata masalah sebenarnya bukan sekedar pelarungan, tapi juga terkait pemenuhan hak-hak ABK dan kondisi kerja.

Begitu penjelasan kuasa hukum ABK kapal Long Xing 629, Pahrur Dalimunthe, dalam diskusi secara daring bertajuk “Perlindungan ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing”, Kamis (14/5/2020). Pahrur mengatakan kasus yang didampinginya itu sudah ditindaklanjuti aparat kepolisian dan masuk tahap penyidikan dengan pasal yang sangkaan, Pasal 4 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Pasal tersebut mengatur setiap orang yang membawa WNI ke luar wilayah Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah Indonesia dipidana dengan penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp120 juta dan paling banyak Rp600 juta. (Baca Juga: Ragam Sebab Pelanggaran Hukum di Laut, Ini Solusinya)

Dia menjelaskan ABK yang berada di kapal Long Xing 629 itu jumlahnya puluhan, dan selama 12 bulan berada di laut. Dalam jangka waktu itu sebanyak 4 ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal tersebut meninggal, 2 ABK diantaranya dibuang ke laut. Pahrur melihat otoritas China beralasan pelarungan itu dilakukan karena penyakit menular. Tapi faktanya ABK yang lain termasuk ABK berkewarganegaraan China tidak tertular penyakit apapun. Menurut pengakuan ABK yang berhasil pulang ke Indonesia, ternyata kondisi kerja di atas kapal Long Xing sangat memprihatinkan.

“ABK asal Indonesia diberi makanan kadaluarsa, dan air minum hasil sulingan air laut yang tidak layak diminum karena sangat asin. Obat yang diberikan juga kadaluarsa. Ini yang menyebabkan ABK asal WNI menjadi sakit, sampai ada yang meninggal,” ujar Pahrur mengutip pengakuan sang ABK.  

Pahrur menyebut kondisi kerja di kapal tersebut tidak layak karena ABK harus bekerja lebih dari 18 jam per hari. Semua perintah nahkoda kapal diikuti karena ABK takut uang jaminan mereka tidak dibayar jika tidak mematuhi perintah itu. Dokumen asli ABK juga dipegang pihak penyalur (agency). Sehari sebelum berangkat melaut, ABK disodori kontrak kerja yang sangat merugikan dengan ancaman membayar ganti rugi jika tidak mau menandatangani kontrak tersebut.

Menurut Pahrur, kasus ini terjadi karena ada persoalan dari proses rekrutmen. Fakta di lapangan menunjukan banyak agen yang merekrut ABK untuk ditempatkan pada kapal asing. Padahal data BNP2TKI/BP2MI menunjukan hanya ada 3 perusahaan yang secara resmi menyalurkan ABK. Kemudian terkait pengawasan, karena dia yakin jika otoritas memeriksa perjanjian kerja ABK tersebut, maka kapal tidak boleh berangkat. Membaca isi perjanjian kerja itu Pahrur menilai isinya lebih tepat disebut “perbudakan.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait