Mendorong Pembentukan Pansus Angket untuk Kasus Djoko Tjandra
Utama

Mendorong Pembentukan Pansus Angket untuk Kasus Djoko Tjandra

Komisi IIII disarankan perlu terlebih dulu secara gabungan menggelar rapat dengan Polri, Kejaksaan, Kemenkumham. Atau untuk mengembalikan martabat dan kewibawaan sistem hukum, perlu Tim Bersama mengambil sejumlah langkah untuk menyelidiki pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab di semua institusi terkait.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: Hol
Gedung DPR. Foto: Hol

Tiga jenderal polisi dicopot dari jabatannya di Korps Bhayangkara menyusul dugaan pelanggaran kode etik karena diduga membantu buron Djoko Tjandra keluar masuk ke Indonesia.  Sementara Korps Adhiyaksa pun memeriksa jaksa yang diduga bertemu dengan pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking. Kasus buron Djoko Tjandra menggambarkan karut marutnya penegakan hukum di Tanah Air.

Karena itu, DPR semestinya bergerak cepat membentuk Pantia Khusus (Pansus) Angket terhadap institusi penegak hukum dalam kasus Djoko Tjandra. Dia melihat kondisi aparat penegak hukum dalam kasus Djoko Tjandra yang mencoreng wajah penegakan hukum. “Kasus Djoko Tjandra ini memang ‘menampar’ aparatur penegak hukum kita,” ujar Wakil Ketua MPR Arsul Sani saat berbincang dengan Hukumonline, Senin (27/7/2020). (Baca Juga: Akal-Akalan Joko Tjandra Muluskan Permohonan PK) 

Arsul yang juga anggota Komisi III DPR itu paham betul kegundahan masyarakat atas potret penegakan hukum dalam kasus Djoko Tjandra ini hingga mendorong DPR agar membentuk Pansus. Sejumlah anggota dewan di Komisi III yang membidangi hukum itu pun telah melontarkan gagasan agar membentuk Pansus Angket saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi dua pekan lalu.

“Pada akhirnya apakah untuk kasus (Djoko Tjandra, red) ini perlu dibentuk Pansus Angket atau tidak? Kalau menurut pandangan saya, Komisi IIII perlu DPR terlebih dulu secara gabungan menggelar rapat dengan Polri, Kejaksaan, Kemenkumham,” ujarnya.

Tujuannya, kata Arsul, untuk mengetahui apa saja yang masing-masing institusi penegak hukum sudah kerjakan masing-masing dalam rangka menyelidiki kasus terpidana 2 tahun buron kasus hak tagih (cessie) Bank Bali sebesar Rp940miliar ini. Menurutnya, Komisi III melihat adanya tindak pidana baru terkait kasus Djoko Tjandra.

Seperti dugaan menyembunyikan buronan, membuat atau memasukan keterangan palsu dalam surat otentik. Bahkan dimungkinkan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Yakni bila adanya indikasi menerima suap setelah memberikan kemudahan dalam sejumlah hal terhadap kasus Djoko Tjandra.

“Nah kita lihat sejauh mana Polri dan Kejaksaan menanganinya. Termasuk kesigapan mereka menetapkan kasus Djoko Tjandra dengan tersangka baru. Jadi tidak berhenti di perwira tinggi (Pati) Polrinya saja,” ujarnya.

Dalam kasus Djoko Tjandra, tiga jenderal polri terpaksa menelan “pil pahit” Yakni pencopotan dari jabatannya. Ketiga jenderal itu antara lain Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo yang menerbitkan surat jalan bagi Djoko Tjandra. Kemudian Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte lantaran melanggar kode etik. Terakhir, Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wiwoho

Dibantu pihak berwenang?

Terpisah, Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz melihat mudahnya Djoko Tjandra mendapat akses layanan publik hingga keluar masuk Indonesia bukan tak mungkin dibantu pihak berwenang. Hal ini rerbukti dicopotnya tiga jenderal polisi itu. Meski begitu, kata Donal, perlunya mendorong agar DPR menjadi pihak yang dapat melakukan tindakan dalam merespon masalah Djoko Tjandra.

Baginya DPR memiliki hak dalam melakukan penyelidikan berupa hak angkat. Nah hak angket pun pernah ditempuh DPR terhadap sejumlah kasus besar. Seperti skandal dana talangan bank Century dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Namun saat ini, kata Donal, belum ada pertanda yang menunjukkan DPR bakal menggunakan hak angket untuk menyelidiki kasus Djoko Tjandra ini.

Donal mendorong DPR menggunakan hak angketnya dalam situasi institusi penegak hukum tak berdaya menghadapi seorang Djoko Tjandra. Sebab, beberapa tahun silam, DPR membentuk hak angket bagi KPK. Karenanya, dalam kasus terpidana buron dalam pelarian sejak 2010 itu pun mesti dibentuk Pansus Angket. “Karena itu, ICW mendesak DPR menggunakan hak angket dalam kasus Joko Tjandra terhadap Kepolisian, Kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Dalam Negeri,” ujarnya.

Anggota Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) Liza Farihah mengatakan mengembalikan martabat dan kewibawaan sistem hukum di Indonesia perlu diambil sejumlah langkah. Seperti kasus Djoko Tjandra beserta oknum aparat penegak hukum yang terlibat harus diungkap secara menyeluruh dengan menyelidiki pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab di semua institusi terkait.

“Kasus ini sangat menciderai upaya pemberantasan korupsi dan memperburuk citra penegakan hukum di Indonesia. Seorang buronan bisa keluar dan masuk wilayah Indonesia dan difasilitasi oleh oknum penegak hukum,” ujarnya.

Liza yang juga menjabat Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Indepedensi Peradilan Indonesia (LeIP) ini berpendapat keharusan Presiden membentuk Tim Bersama yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Tujuannya untuk menyelidiki dan memproses berdasarkan hukum pidana yang berlaku setiap aparat institusi pemerintah dan penegak hukum yang membantu pelarian Djoko Tjandra. 

Tags:

Berita Terkait