Mendorong Penguatan Perlindungan Harta Pihak Ketiga Beritikad Baik dalam Perkara Tipikor dan TPPU
Doktor Ilmu Hukum:

Mendorong Penguatan Perlindungan Harta Pihak Ketiga Beritikad Baik dalam Perkara Tipikor dan TPPU

Perlu beberapa regulasi untuk memberi perlindungan hukum terhadap pihak ketiga beritikad baik dalam kasus pidana korupsi dan TPPU, seperti rancangan KUHAP, peraturan MA, peraturan Jaksa Agung, dan peraturan Kepala Polri.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 7 Menit

Mengutip Pasal 16 KUHAP, Patra menyebut penyidik diberi kewenangan melakukan upaya terhadap harta kekayaan siapapun, termasuk pihak ketiga jika dinilai penting untuk pembuktian di persidangan. Begitu pula Pasal 47 ayat (1) UU KPK, mengatur atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua pengadilan negeri berkaitan dengan tugas penyidikan. Pasal 12 ayat (1) huruf d UU KPK juga mengatur kewenangan KPK memerintahkan bank atau lembaga keuangan untuk memblokir rekening yang diduga hasil korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait.

Persoalannya, pihak ketiga tidak dapat menggunakan dan/atau memanfaatkan harta kekayaannya karena disita, diblokir, dibekukan untuk kepentingan pembuktian di persidangan atau dirampas berdasarkan keputusan pengadilan. Meskiipun tidak ada satu pun perbuatan pihak ketiga yang dimintai pertanggungjawaban pidana terkait tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan tersangka atau terdakwa.

Wajib melindungi pihak ketiga beritikad baik

Istilah pihak ketiga yang beritikad baik tertuang antara lain dalam Pasal 19 dan Penjelasan Pasal 38 ayat (7) UU Pemberantasan Tipikor. Konvensi PBB tahun 2003 yang diratifikasi melalui UU No.7 Tahun 2006 memuat kewajiban negara melindungi pihak ketiga yang beritikad baik. Konvensi ini menyebutkan negara wajib mengatur dengan cara membuat aturan hukum yang melindungi pihak ketiga yang beritikad baik dalam hal terjadi pembekuan, penyitaan, dan pengambilan aset. Demikian pula dalam hal terjadi pengembalian ataupun perampasan aset dalam perkara tindak pidana korupsi.

Putusan MK No.021/PUU-III/2005 terkait perampasan hak milik, menurut Patra telah memberikan pertimbangan hukum. Pertimbangan hukum ini intinya setiap perampasan hak milik dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, dan perlindungan atas hak milik pihak ketiga yang beritikad baik. “Dengan merujuk pertimbangan hukum putusan MK tersebut, jelas perampasan harta kekayaan pihak ketiga yang melanggar prinsip due process of law melanggar hak asasi (hak milik) dan bentuk ketidakadilan,” paparnya.

Patra menyimpulkan selama ini perlindungan hukum pihak ketiga yang beritikad baik atas harta kekayaan dalam perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang sangat terbatas. Seringkali terjadi ketidakadilan dan pelanggaran hak atas kekayaan pihak ketiga dalam proses hukum perkara pidana korupsi dan pencucian uang oleh penyidik, penuntut umum, dan majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik dalam perkara tindak pidana korupsi dan pencucian uang menurut Patra hanyalah bersifat “belas kasihan” dari aparat penegak hukum yang bersangkutan. Praktiknya, penerapan perlindungan hukum pihak ketiga yang beritikad baik dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dan pencucian uang sangat beragam dan berbeda-beda sebagaimana terlihat dalam 12 putusan dalam penelitian disertasi ini.

Dia mengingatkan penyidik, penuntut umum, dan hakim berperan penting untuk mencapai tujuan hukum yakni mewujudkan keadilan dan memberikan perlindungan hukum bagi pihak ketiga, termasuk perlindungan atas harta kekayaan yang dimilikinya dengan itikad baik. Sebab, hukum pidana belum memadai untuk menentukan apakah pihak ketiga beritikad baik atau buruk. Oleh karenanya penyidik, penuntut umum, dan hakim perlu menggunakan pendekatan interdisipliner dalam menjalankan kewenangannya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait