Mendorong Perlunya Prosedur Baku dalam Penerbitan Perppu
Utama

Mendorong Perlunya Prosedur Baku dalam Penerbitan Perppu

Agar ada kepastian syarat, proses penerbitan, kapan sidang pembahasan dan pengesahan Perppu di DPR, termasuk jika Perppu diuji di MK.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) di setiap rezim pemerintahan kerap menjadi perbincangan publik. Tak hanya materi muatan, tapi juga soal ihwal kegentingan memaksa yang menjadi penilaian subjektif presiden dan syarat utama terbitnya Perppu. Meski batasan terbitnya Perppu telah diatur konstitusi, namun praktik penerbitan Perppu perlu dievaluasi agar memiliki standar baku dan tidak dengan mudahnya dipersoalkan.   

 

Direktur III dan Peneliti Senior Kolegium Jurist Institute Reza Fikri Febriansyah mengatakan “ihwal kegentingan memaksa” kerap dijadikan alasan terbitnya sebuah Perppu. Seperti terbitnya Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dia menilai terbitnya Perppu terkadang digunakan presiden masing-masing pemerintahan sebagai cara kilat membuat UU.

 

“Praktik seperti ini perlu evaluasi,” ujar Reza dalam sebuah diskusi daring, Rabu (15/4/2020). Baca Juga: Menanti Sikap DPR atas Perppu Penanganan Covid-19  

 

Dia menerangkan syarat terbitnya Perppu sejak awal diatur Pasal 22 UUD 1945. Beleid ini menyebutkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perppu yang harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Namun, praktiknya menimbulkan perdebatan.

 

Alhasil, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No.138/PUU-VII/2009 memberikan parameter/pedoman perihal “kegentingan yang memaksa” bagi presiden dalam menerbitkan Perppu. Pertama, adanya keadaan atau kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, ketiadaan UU yang mengakibatkan kekosongan hukum atau adanya UU, tapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena membutuhkan waktu yang cukup lama. Sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

 

“Sayangnya, paramater terbitnya Perppu dalam putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 itu hanya dijadikan ‘asesoris’ semata dalam bagian menimbang dan mengingat dalam Perppu,” kata Reza.

 

Dia menunjuk Perppu 1/2020 yang materi muatannya berisi dampak corona serta ada pendelegasian melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri. Padahal, PP itu untuk menjalankan sebuah UU, bukan Perppu. “Apakah ada tafsir meluas PP bisa menjalankan Perppu sebagaimana mestinya? Padahal ada perbedaan signifikan antara Perppu dan UU, sehingga tidak begitu saja menyamakan Perppu dengan UU,” kritiknya.

Tags:

Berita Terkait