Mendorong Ratifikasi Perjanjian Bilateral Indonesia-Singapura
Terbaru

Mendorong Ratifikasi Perjanjian Bilateral Indonesia-Singapura

Khususnya perjanjian kerja sama pertahanan, flight information region, dan perjanjian ekstradisi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Pertemuan pimpinan Parlemen Singapura dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia di Gedung DPR, Rabu (5/10/2022). Foto: Istimewa
Pertemuan pimpinan Parlemen Singapura dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia di Gedung DPR, Rabu (5/10/2022). Foto: Istimewa

Pertemuan antara pimpinan Parlemen Singapura dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia menjadi momentum menyamakan persepsi mendorong proses ratifikasi perjanjian bilateral antara pemerintah Indonesia dengan Singapura. Seperti perjanjian yang diresmikan kepala negara Indonesia dengan perdana menteri Singapura di Bintan Januari 2022 lalu.

“Namun, perjanjian tersebut ternyata belum dapat direalisasikan karena belum diratifikasi,” ujar Ketua DPD RI LaNyalla Matalitti di Gedung DPR, Rabu (5/10/2022).

Perjanjian bilatera kedua negara itu, khususnya soal perjanjian kerja sama pertahanan, flight information region, dan perjanjian ekstradisi. Tertundanya proses ratifikasi sejumlah perjanjian kedua negara itu lantaran dijadikan satu paket. Alhasil, profes ratifikasi pun harus dilakukan secara bersamaan.

LaNyalla menilai kalau saja ratifikasi dapat dipisahkan prosesnya bakal terlaksana secara bertahap. Seperti perjanjian ekstradisi dapat diratifikasi terlebih dahulu. Setelah itu menyusul ratifikasi perjanjian kerja sama pertahanan. Dia melihat pembahasan di parlemen cenderung lebih memiliki tingkat kompleksitas dibanding lainnya.

Senator asal Jawa Timur itu menilai terdapat persoalan dalam perjanjian kerja sama pertahanan sejak 2007 silam hingga kini yakni tentang latihan bersama Angkatan Laut (AL) Singapura dengan negara-negara lain area perairan Indonesia sebanyak empat kali dalam setahun. Hal ini bagi Singapura dan Indonesia dianggap sebagai bentuk kedewasaan dalam bertetangga.

“Tapi parlemen dan elemen masyarakat Indonesia melihat hal ini sebagai urusan kedaulatan yang tak bisa ditawar-tawar. Sebab, ada dasar hukumnya di konstitusi dan berbagai UU terkait,” kata dia.

Karena itu, ratifikasi perjanjian-perjanjian dalam satu paket perlu dipisah. Dia beralasan agar pemerintah dapat secepatnya mengambil langkah tanpa adanya hambatan. Maklum, kata LaNyalla, Indonesia seolah disandera oleh kesepakatan agar menjadikan perjanjian-perjanjian tersebut dalam satu paket ratifikasi.

Tags:

Berita Terkait