Mendorong Reforma Agraria Lewat RUU Masyarakat Hukum Adat
Utama

Mendorong Reforma Agraria Lewat RUU Masyarakat Hukum Adat

Karena pelaksanaan Perpres Reforma Agraria selama ini belum mampu mengatasi dan menyelesaikan konflik pertanahan. RUU MHA menunggu pengesahan menjadi usul inisiatif DPR.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Nasib pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) di Badan Legislasi (Baleg) DPR belum menunjukan perkembangan yang berarti. Meski begitu, Baleg tetap terus menyerap masukan dari berbagai pemangku kepentingan termasuk para kepala suku adat. Harapannya RUU MHA dapat masuk dalam pembahasan tingkat pertama di DPR.  

“Kita tetap mendorong legislasi pembaharuan agraria (reforma agraria), pertanahan, dan masyarakat hukum adat,” ujarn Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Fernando Sinaga dalam rapat dengar pendapat umum dengan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) di Komplek Gedung Parlemen, Senin (6/9/2021) kemarin.

Dia menerangkan sektor pertanahan menjadi bagian dalam bahasan RUU MHA. Sebab, pertanahan dalam kawasan wilayah adat kerap tergusur akibat kepentingan korporasi atau kepentingan proyek strategis nasional. Maklum, dengan terbitnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, wilayah kawasan adat berpotensi terkena dampak dari proyek strategi nasional. Hal ini juga terkait reforma agraria yang menyulut persoalan konflik pertanahan hak ulayat adat dan tata ruang.

“Belum dilaksanakan secara baik Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria ini juga menjadi catatan,” kata dia.

Menurutnya, pelaksanaan reforma agraria sejauh ini belum mampu mengatasi dan menyelesaikan konflik pertanahan, yang dijalankan melalui Program Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T). Kemudian, Program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan Program Sertifikasi Tanah. (Baca Juga: Penyebab RUU Masyarakat Hukum Adat Mangkrak di DPR)  

Ketua Dewan Nasional KPA, Iwan Nurdin mengamini pandangan Fernando. Menurutnya, reforma agraria bukanlah sertifikasi tanah yang digadang-gadang pemerintah. Sertifikasi tanah hanya bagian kecil dan tahap akhir dari proses reform di bawah program reforma agraria. Tanpa reforma agraria pun pelayanan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) mensertifikatkan tanah merupakan pekerjaan rutin.

Iwan menerangkan pembaruan agraria atau lebih populer dengan sebutan reforma agraria merupakan usaha sistematis negara untuk merombak atau menata ulang struktur penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah yang timpang menjadi lebih berkeadilan yaitu dari struktur lama ke struktur baru.

Tags:

Berita Terkait