Mendorong Reformasi Kebijakan Pidana Atasi Over Kapasitas Lapas
Berita

Mendorong Reformasi Kebijakan Pidana Atasi Over Kapasitas Lapas

Memperbaiki sistem peradilan pidana dengan memastikan judicial control/oversight yang lebih baik dalam mencegah penggunaan penahanan secara eksesif. Pemerintah mesti evaluasi menyeluruh upaya reformasi hukum pidana.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Sejumlah terpidana dibebaskan melalui program asimilasi untuk mencegah penyebaran Covid-19. Foto: RES
Sejumlah terpidana dibebaskan melalui program asimilasi untuk mencegah penyebaran Covid-19. Foto: RES

Secara umum, kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) di Tanah Air masih jauh dari yang diharapkan. Berbagai persoalan kerap berulang, terutama over kapasitas yang tak belum diatasi pemerintah. Guna mengatasi berbagai persoalan di lapas itu, diperlukan reformasi kebijakan pidana yang memprioritaskan pengelolaan lapas dan rutan.

Koalisi Pemantau Peradilan mendorong pemerintah dan DPR untuk serius dalam melakukan pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), RKUHP, dan UU lain. Antara lain melalui kebijakan alternatif nonpemenjaraan untuk pengarusutamaan restoratif justice dan reformasi kebijakan narkotika dengan menggunakan pendekatan kesehatan.

Anggota Koalisi Pemantau Peradilan Dio Ashar menilai upaya mengatasi permasalahan over kapasitas lapas seringkali tidak komprehensif, cenderung timbul dan tenggelam. Nampaknya, pemerintah dinilai tidak begitu memperhatikan pangkal permasalahan kondisi over kapasitas lapas berakar pada perubahan kebijakan pemidanaan di Indonesia.

Kementerian Hukum dan HAM memang telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. 11 tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan. Permenkumham 11/207 ini menyoroti budaya praktik aparat penegakan hukum yang cenderung eksesif melakukan penahanan terhadap tersangka/terdakwa dalam masa persidangan.

Per Maret 2020, jumlah tahanan di rutan/lapas seluruh Indonesia mengalami over kapasitas sebesar 24 persen dari jumlah penghuni. Penyebabnya, ada paradigma penegak hukum bahwa penahanan merupakan suatu keharusan. Padahal KUHAP menyediakan mekansime lain, seperti  tahanan kota, tahanan rumah atau mekanisme penangguhan penahanana. Untuk penahanan rutan, KUHAP sudah menyatakan bahwa seorang tersangka “dapat” dikenai penahanan, dan tidak harus dikenai penahanan.

“Sikap seperti ini yang dikritik dalam Permenkumham itu,” ujar Dio dalam keterangannya kepada Hukumonline, Selasa (14/7/2020). (Baca Juga: Upaya Kemenkumham Atasi Persoalan Over Kapasitas Lapas)

Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) ini menilai cara pandang tersebut berdampak terhadap isi hunian lapas dan rutan. Sebab, semakin tinggi penghukuman dengan menggunakan media penahanan, maka tinggi pula jumlah hunian dibandingkan dengan kapasitas ruang yang tersedia (over kapasitas).

Tags:

Berita Terkait