Menelisik Soal Kewajiban dan Kendala Membangun Smelter
Meneropong Bisnis Tambang Pasca PP Minerba

Menelisik Soal Kewajiban dan Kendala Membangun Smelter

Kebutuhan pengolahan dan pemurnian dalam negeri membutuhkan fasilitas smelter yang notabene merupakan investasi yang tidak kecil.

Oleh:
NANDA NARENDRA PUTRA/DAN
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Pemerintah terus berupaya mendorong terwujudnya pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri (smelter). Sejak 12 Januari 2014, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor sepanjang perusahaan tambang tidak mau membangun smelternya sendiri.

Larangan ekspor mineral mentah merupakan amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.Pemegang Kontrak Karya (KK) dilarang menjual mineral mereka ke luar negeri kecuali jika telah memenuhi sejumlah persyaratan yang ditetapkan dalam Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 mengatur bahwa pemegang KK dapat menjual mineral hasil pengolahan mereka dalam jangka waktu paling lama lima tahun sejak berlakunya aturan ini dengan syarat. Pertama, pemegang KK mengubah bentuk pengusahaan pertambangannya dari KK menjadi IUPK OP dan membayar bea keluar. Kedua, mineral yang ditujukan untuk ekspor memenuhi batasan minimum pengolahan sebagaimana diatur dalam Lampiran I Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 ini.

Jika menengok lebih dalam Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017, aturan tersebut mengatur sejumlah hal yang cukup spesifik terutama terkait dengan peningkatan nilai tambah barang tertentu, baik itu jenis mineral yang tercantum dalam Lampiran I, II, dan II Permen ESDM ini. Aturan ini juga mewajibkan setiap tindakan peningkatan nilai tambah harus dilaksanakan di dalam wilayah Indonesia sesuai batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian yang tercantum dalam Lampiran tesebut. (Baca Juga: Sejumlah Persoalan Membayangi Kebijakan Divestasi Saham Tambang)

Sebagaimana diketahui, ketentuan tersebut memperjelas kewajiban yang dimandatkan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubaradimana pihak-pihak yang ingin membangun fasilitas pemurnian di Indonesia wajib memanfaatkan mineral logam dengan kriteria tertentu, sebagaimana nantinya diatur lewat Permen ESDM ini meskipun kewajiban peningkatan ini tidak berlaku buat pemegang IUP OP atau IUPK OP yang hasil penambangannya digunakan langsung di Indonesia.

Pertanyaannya, sudahkah perusahaan tambang membangun smelter? Merujuk Rencana Strategis Kementerian ESDM Tahun 2015-2019, pemerintah mempunyai target pembangunan smelter dengan total sebanyak 30 unit. Tahun pertama, targetnya membangun 12 unit smelter, tahun kedua membangun 9 smelter, kemudian membangun 6 smelter pada tahun 2017 dan dua tahun berikutnya membangun, masing-masing 2 unit dan 1 unit. Fasilitas pengolahan bauksit akan diarahkan di Kalimantan Barat, dan pengolahan bijih nikel diarahkan di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. (Baca Juga: Mencermati Konstitusionalitas Kebijakan Hilirisasi Mineral)

Dalam Renstra ini, pemerintah menyebut bahwa industri pengolahan bijih besi tidak harus dekat dengan sumber bijih besi, mengingat keberadaannya tersebar dan cadangannya kecil. Pemerintah ingin mengarahkan lokasinya ke tempat yang sudah memiliki infrastruktur dan dekat sumber energi atau listrik. Begitupula pada industri pengolahan konsentrat tembaga juga tidak harus dekat sumber bijih tembaga. Namun, diarahkan lokasinya di tempat yang sudah memiliki infrastruktur dan dekat sumber energi atau listrik.
Rencana AksiSatuan20152016201720182019
Pembangunan SmelterUnit129621
Kapasitas terpasang smelterJuta ton29,7737,7743,4758,7558,75
 
Rencana Aksi20152016201720182019
Bintang Delapan Mineral  v
PT Kapuas Prima Citrav  
PT SILOv  
PT Megatop Inti Selarasv  
PT Sumber Suryadaya Primav  
PT Multi Baja Industriv  
Haritama Prima Abadi Mineralv  
               Sumber: Rencana Strategis Kementerian ESDM Tahun 2015-2019.

Ambil satu contoh misalnya, PT Freeport Indonesia sendiri sampai saat ini masih belum menyelesaikan pembangunan smelter. Anggota Komisi VII DPR RI, Mukhtar Tompo menyebut PT Freeport Indonesia hingga saat ini tidak punya itikad baik dalam berbisnis di Indonesia karena perintah untuk membangun smelter diabaikannya.

"Saya secara tegas menyatakan bahwa arogansi yang ditunjukkan PT Freeport Indonesia (PTFI) dalam berbisnis di Indonesia, tak berbeda dengan gaya VOC, perusahaan asal Belanda di zaman penjajahan dahulu," tegas Mukhtar. (Baca Juga: Membongkar Kerancuan Regulasi Minerba di Indonesia)

Alasan dirinya menyebut tidak beriktikad baik lantaran Freeport terus berdalih bahwa pembangunan smelter hanya akan dilakukan jika pemerintah memberikan kepastian perpanjangan kontrak setelah 2021. Muhktar berpendat, setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi kenapa dirinya menyebut PTFI tidak beritikad baik untuk membangun smelter.

Pertama, PTFI tidak punya iktikad baik untuk membangun smelter sebagaimana dipersyaratkan UU Minerba. Belakangan, PTFI baru mau melanjutkan pembangunan smelter jika diberikan kepastian perpanjangan kontrak. Kedua, Freeport bersurat untuk melakukan perubahan bentuk pengusahaan pertambangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dimana Freeport menggunakan frase ‘dengan syarat’, salah satunya persetujuan operasi Freeport melewati tahun 2021 atau perpanjangan operasi 2021-2041.

"Untung orang yang memimpin Kementerian ESDM berkepala dingin seperti Pak Jonan. Kalau saya menterinya, tanpa pikir panjang lagi, saya langsung usir mereka. Ini negeri kita, kok mereka mau mendikte. Seolah negara ini tidak punya kedaulatan," jelasnya.

Freeport, masih kata Muhktar, selalu mengatasnamakan Kontrak Karya (KK) untuk melanggar sejumlah undang-undang atau peraturan di Indonesia. Padahal, Pasal 3 kontrak karya ditegaskan bahwa PTFI adalah suatu badan usaha yang didirikan berdasarkan UU Republik Indonesia yang mana tunduk kepada UU dan yurisdiksi pengadilan di Indonesia.

"Saya menganggap cara pandang Freeport yang menganggap dirinya setara dengan pemerintah adalah cara pandang keliru. Saya mengutip pandangan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana, bahwa Freeport harus membedakan Pemerintah sebagai subyek hukum perdata dan sebagai subyek hukum publik," tutup Muhktar.

Hukumonline.com
Sumber: Rencana Strategis Kementerian ESDM 2015-2019

Sekertaris Jenderal Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (NU), Kholid Sevrazi, mengakui muncul persoalan ketika perusahaan tambang seperti PT. Freeport Indonesia belum juga menunjukan niat baiknya untuk melakukan aktivitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Padahal, Pasal 102 UU No.4 Tahun 2009 mengatur bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.

“Konsekuensinya adalah, setiap kegiatan hilir pertambangan, yang di dalamnya terdiri dari aktivitas pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara, mesti dilakukan di dalam negeri sehingga memberikan banyak manfaat secara langsung kepada rakyat Indonesia. Salah satu instrument yang dibutuhkan adalah pabrik pengolahan dan pemurnian atau lazim dikenal dengan smelter,” ujar Kholid.

Smelter dalam industri pertambangan merupakan bagian dari produksi. Mineral yang diperoleh dari hasil tambang, biasanya masih bercampur dengan material bawaan dari perut bumi. Sedangkan material tersebut bukanlah bahan yan dibutuhkan untuk menghasilkan logam yang diinginkan. Sehingga, material tersebut harus dibersihkan dan dimurnikan pada smelter. Smelter juga berfungsi untuk meningkatkan kandungan logam hingga mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku dari produk akhir.

Kebutuhan pengolahan dan pemurnian dalam negeri membutuhkan fasilitas smelter yang notabene merupakan investasi yang tidak kecil. Dari segi infrastruktur, investasi pertambangan di dalam negeri mencakup segala aspek yang berhubungan langsung dengan kegiatan penambangan, pengolahan, dan pemurnian. Dalam konteks pembangunan smelter, sebuah perusahaan tambang perlu melakukan pembebasan lahan sendiri; menyiapkan infrastruktur jalan, pelabuhan, bandara; teknologi; dan terutama pasokan listrik.

Hal ini memperkuat pandangan bahwa investasi di Indonesia is not visible. Kenapa? Karena biaya infrastrukturnya terlalu mahal. Bila dihitung semuanya, untuk 1 ton alumina, dibutuhkan USD 1 milyar, 30 % nya untuk membangun infrasturktur.

Meski demikian, Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Jonathan Handoyo, menyampaikan bahwa sejak berlakunya UU No.4 Tahun 2009, sudah terdapat 32 smelter baru yang didirikan dan investasi yang ditanamkan sekitar USD 20 milyar.

“Untuk nikel, ada 27 smelter yang ada di Indonesia yang sudah selesai pembangunannya, dan di sana hanya ada beberapa saja yang pemegang IUPK, dan selebihnya, lebih dari 95% adalah pemegang Ijin Usaha Industri (IUI),” terang Jonathan.

Jonathan membenarkan adanya anggapan yang menyatakan bahwa saat ada yang bicara mengenai smelter pasti dari Cina. Namun ia menekankan bahwa untuk semlter dengan kapasitas yang lebih kecil, sudah mulai dibangun oleh investor dalam negeri.

“Pertama yang mendirikan smelter di Indonesia PT INDOFERO tahun 2012, itu sudah melakukan ekspor perdana. Di belakang INDOFERO, ada Modern Group, kemudian ada yang dari Surabaya, Cilegon, Morowali. Ini semua merupakan pengusaha-pengusaha lokal.” terang Jonathan.

Kendala Membangun Smelter
Melihat pentingnya keberadaan smelter dalam aktifitas pengolahan dan pemurnian mineral logam, berikut multiplier effect yang timbul terhadap perekonomian dalam negeri akibat adanya smelter, maka menjadi diskusi yang menarik jika melihat sampai dengan hari ini, perusahaan tambang besar yang beroperasi di tanah air masih enggan membangun smelter di Indonesia.

Secara garis besar berikut kendala-kendala pembangunan smelter yang berhasil dihimpun hukumonline. Pertama, Terkait pembebasan lahan yang tidak mudah. Terkait hal ini, hukum ekonomi berlaku terhadap setiap lahan yang di atasnya akan dibangun fasilitas pertambangan. Akibat kebutuhan terhadap lahan yang tinggi mengakibatkan harga lahan tempat bakal dibangunnya smelter melonjak naik. 

Kedua, ketersediaan listrik. Dalam industri, listrik menjadi bahan pokok utama agar pabrik dapat beroperasi. Namun bisa diprediksi bahwa wilayah pertambangan bukanlah wilayah perkotaaan, sehingga biasanya ketersediaan kapasitas listrik di tempat tersebut terbatas.

Ketiga, persoalan regulasi. Jonathan Handoyo mengatakan bahwa letak persoalan smelter justru adapada kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang berpegang teguh pada Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan, dan Pengembangan Industri.
 
Pasal 1 ayat (1) PP No. 17 Tahun 1986 menyatakan, Kewenangan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri berada di tangan Presiden yang pelaksanaannya diserahkan kepada Menteri Perindustrian. Namun menurut Jonathan, yang membingungkan adalah Pasal 2 dalam PP tersebut.
 
Pasal 2 PP 17/1986:
(1) Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 1, pelaksanaan kewenangan pembinaan dan pengembangan industri tertentu diserahkan kepada Menteri lainnya, sebagai berikut:
a) Industri-industri : 1) penyulingan minyak bumi, 2) pencairan gas alam, 3) pengolahan bahan galian bukan logam tertentu, 4) pengolahan bijih timah menjadi ingot timah, 5) pengolahan bauksit meniadi alumina, 6) pengolahan bijih logam mulia menjadi logam muha. 7) pengolahan bijih tembaga menjadi ingot tembaga, 8) pengolahan bahan galian logam mulia lainnya menjadi ingot logam, 9) pengolahan bijih nekel menjadi ingot nekel, diserahkan kepada Menteri Pertambangan dan Energi;
(2) Penyerahan kewenangan pembinaan dan pengembangan di bidang-bidang industri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disertai pula dengan kewenangan pengaturan yang meliputi perumusan dan penetapan kebijaksanaan yang bersifat teknis di bidang-bidang yang bersangkutan.

“Inilah yang menjadi persoalan. PP No 17 Tahun 1986 ini adalah turunan UU No. 5 Tahun 1984. UU ini pun sudah diubah lagi menjadi UU No 3 Tahun 2014, namun hingga saat ini PP 17 Tahun 1986 itu belum pernah dicabut. Ini yang menjadi pertanyaan kami pelaku smelter di Indonesia,” katanya.

Sementara itu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, berpendapat ketika Freeport dan perusahaan tambang lainnya tak membangun smelter, pemerintah Indonesia sedianya dapat membangun. Yakni, dengan cara membentuk konsorsium dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Cara tersebut dipandang Enny sangat efektif. Pemerintah memiliki berbagai kewenangan dalam memangu smelter. Meski diakui membutuhkan dana yang besar, konsorsium BUMN sebagai cara dalam rangka mewujudkan pembangunan smelter. Enny menilai pembangunan melster bentuk konsistensi melaksanakan UU Minerba. “Semakin konsisten, maka pemerintah yang bangun smelternya dengan konsorsium BUMN,” ujarnya.

Lebih lanjut, Enny berpandangan keuntungan smelter dibangun pemerintah, nantinya semua perusahaan tambang mesti melakukan pengolahan dan pemurnian melalui smelter yang dibangun pemerintah. Dengan begitu, pemerintah dapat mengontrol ekspor hasil tambang yang keluar dan masuk. “Jadi terdapat semua sumber daya alam yang keluar dari pertambangan,” katanya.
Tags:

Berita Terkait