Menelusuri Skema Ponzi dalam Layanan Fintech Ilegal
Terbaru

Menelusuri Skema Ponzi dalam Layanan Fintech Ilegal

Ada dugaan aliran dana hasil kejahatan yang berasal dari dan luar wilayah Indonesia dan digunakan sebagai modal dalam bisnis pinjaman online ilegal.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Persoalan pinjaman online atau fintech ilegal bukan sekadar kegagalan bayar utang nasabah. Pelaku atau pemilik fintech ilegal tersebut perlu jadi perhatian khusus. Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan terdapat hubungan atau relasi antara masing-masing fintech ilegal. Fintech ilegal tersebut menggunakan skema Ponzi dalam transaksi pinjaman online ilegal sehingga suatu penyelenggara pinjaman online ilegal tergabung dalam grup dengan penyelenggara pinjaman online ilegal lain.

“Dalam berbagai kasus terkait pinjaman online ilegal ini, PPATK melihat terdapat penggunaan skema Ponzi dalam transaksi pinjaman online ilegal, dimana suatu penyelenggara pinjaman online ilegal tergabung dalam grup dengan penyelenggara pinjaman online ilegal lain,’’ ujar Deputi Pencegahan PPATK, Muhammad Sigit, Senin (22/11).

Dalam skema Ponzi, Sigit menjelaskan saat seseorang terikat dengan satu penyelenggara pinjaman online ilegal dan mengalami kegagalan pembayaran utang maka orang tersebut akan berupaya meminjam dari penyelenggara pinjaman online ilegal lainnya yang sebenarnya merupakan bagian dari grup penyelenggara pinjaman online ilegal yang sama. 

“Sehingga, beban utang dengan bunga tinggi yang ditanggung oleh orang tersebut menjadi semakin besar,’’ tambah Sigit.

Berdasarkan analisis PPATK, ditemukan adanya dugaan aliran dana hasil kejahatan yang berasal dari dalam dan luar wilayah Indonesia dan digunakan sebagai modal dalam bisnis pinjaman online ilegal tersebut. (Baca: Pentingnya Kesadaran Masyarakat untuk Menghindari Pinjol Ilegal)

Interkonektivitas di antara lembaga keuangan dalam negeri maupun lembaga keuangan internasional serta pesatnya aliran dana masuk dan keluar Negara Indonesia atau illicit financial flows yang berasal dari upaya mengaburkan, menyamarkan asal-usul uang dari tindak pidana asal seperti korupsi atau narkoba merupakan hal yang perlu diwaspadai sehingga tidak mencederai pertumbuhan ekonomi. 

OJK menyebutkan sampai dengan 30 September 2021 sudah ada Rp262,93 triliun akumulasi pinjaman yang disalurkan kepada masyarakat dengan 71,06 juta rekening pengguna.

“PPATK bersama LPP (Lembaga Pengawas dan Pengatur) berupaya meningkatkan risk awareness dan prudential standard sehingga Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) akan membantu khususnya Penyedia Jasa Keuangan bank dan non-bank. Dalam diskusi ini kita akan mendapatkan informasi yang bermanfaat dalam upaya mendeteksi, mencegah, dan memberantas maraknya aktivitas pinjaman online ilegal yang terindikasi TPPU,’’ ungkap Sigit dalam Focus Group Discussion (FGD) Upaya Deteksi, Cegah, dan Berantas Pinjaman Online Ilegal di Depok, Jawa Barat.

Deputi Pencegahan PPATK Muhammad Sigit mengatakan perkembangan teknologi yang berkembang begitu pesat, menjadikan perekonomian Indonesia bergerak begitu dinamis dan menumbuh kembangkan berbagai inovasi keuangan, salah satunya adalah financial technology (fintech).

Fintech di Indonesia terus mengalami pertumbuhan dan berdampak positif bagi perekonomian Indonesia seperti memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi keuangan, kemudahan dalam mendapatkan akses pendanaan guna menggerakkan dan meningkatkan usaha kecil masyarakat, mendukung inklusi keuangan masyarakat, dan mempercepat perputaran ekonomi.

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology OJK, Tris Yulianta menyampaikan berbagai faktor pendorong utama banyaknya masyarakat terjebak pinjaman illegal (pinjol) illegal. Pertama, kebutuhan peminjam yang mendesak untuk menyambung hidup dan kebutuhan dasar lainnya.

“Kedua, kemudahan dalam berhutang dengan menggunakan aplikasi dengan persyaratan mudah dan pencairannya cepat. Ketiga, mudah membuat aplikasi dan penawaran dan keempat, literasi keuangan dan literasi digital masih rendah,” jelasnya dalam keterangan pers.

Sebagai informasi, FGD tersebut merupakan tindak lanjut instruksi Presiden yang meminta otoritas yang berwenang untuk menindak tegas praktik pinjaman online illegal, sehingga tidak ada lagi masyarakat tertipu dan terjerat pinjaman online ilegal. Di samping itu juga agar dapat mendorong tata kelola penyediaan jasa pinjaman online diperhatikan dan dilaksanakan dengan baik sehingga percepatan pertumbuhan industri pinjaman online di Indonesia tidak diikuti dengan banyaknya penipuan dan tindak kejahatan yang merugikan masyarakat.

Hadir dalam FGD tersebut perwakilan dari Otoritas Jasa Keuangan, Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan PPATK.

Tags:

Berita Terkait