Mengamandemen Konstitusi demi Menunda Pemilu Bentuk Abuse of Power
Terbaru

Mengamandemen Konstitusi demi Menunda Pemilu Bentuk Abuse of Power

Sebelum mengamandemen konstitusi, harus ditanyakan terlebih dahulu ke rakyat. Mengamandemen konstitusi demi memperpanjang jabatan, secara moral dan etika tidaklah tepat.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Pertama, bakal terjadi kekosongan jabatan di semua jabatan yang dipilih oleh rakyat mulai presiden, gubernur, bupati, walikota se Indonesia maupun legislatif pusat, provinsi dan kabupaten, kota serta DPD. Kedua, harus mengamandemen UUD 1945 untuk menambah jabatan-jabatan yang dipilih oleh rakyat. Ketiga, presiden mengeluarkan dekrit untuk penambahan masa jabatan.

“Tetapi ini akan berakibat presiden melawan konstitusi, karena presiden disumpah untuk taat konstitusi,” katanya.

Keempat, secara politik penambahan masa waktu jabatan menjadi ironi setelah DPR melalui Komisi II bersama pemerintah telah memutuskan agenda tahapan-tahapan pemilu 2024. Menurutnya, di Komisi II berisi wakil-wakil partai. Termasuk partai yang pimpinannya mengusulkan penundaan pemilu.

“Ini kan menjadi aneh, akan menjadi pertanyaan masyarakat apakah ketika Komisi II memutuskan tahapan pemilu tidak diketahui para ketua umumnya?” katanya.

Kelima, alasan ekonomi pun tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, kata Andreas, dari tahun-tahun sebelumnya dan ke depan semua kalangan sedang berjuang dalam pemulihan ekonomi. Sementara kunci dari pemulihan ekonomi adalah kepastian regulasi politik. Dengan demikian, wacana penundaan pemilu dipandang berbahaya bagi kepastian regulasi politik yang berdampak terhadap pemulihan ekonomi.

“Presiden sendiri sudah jelas mengatakan taat konstitusi, dan tidak setuju dengan penambahan jabatan atau penundaan pemilu, sehingga janganlah menyandarkan penundaan pada presiden. Sudahlah, kita tutup wacana ini, dan fokus pada agenda pemulihan pandemi dan ekonomi,” katanya.

Baca Juga:

Tags:

Berita Terkait