Mengenal Beda Sidang Praperadilan dengan Sidang Pokok Perkara
Berita

Mengenal Beda Sidang Praperadilan dengan Sidang Pokok Perkara

Praperadilan lebih ke administratif sementara pengadilan pokok perkara memeriksa materi dugaan tindak pidana yang dilakukan.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: Sidang praperadilan Habib Rizieq Shihab di PN Jakarta Selatan. Foto: RES
Ilustrasi: Sidang praperadilan Habib Rizieq Shihab di PN Jakarta Selatan. Foto: RES

Sejak beberapa tahun terakhir, upaya praperadilan kerap kali digunakan oleh para tersangka untuk lolos dari jeratan hukum baik itu perkara korupsi, maupun pidana umum. Beberapa diantaranya upaya itu memang berhasil seperti mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo dan Kepala Badan Intelejen Negara Budi Gunawan.

Namun banyak pula upaya tersebut tidak bisa meloloskan mereka dari jeratan hukum karena permohonannya ditolak hakim tunggal seperti yang baru saja terjadi pada Habib Rizieq Shihab. Upaya praperadilan yang memohon agar penetapan tersangka dibatalkan ditolak hakim tunggal Akhmad Sayuti sehingga proses hukumnya terus berjalan hingga proses pemeriksaan di pengadilan negeri untuk memeriksa pokok perkara.

Lalu apa beda praperadilan dengan pengadilan pokok perkara?

Mungkin banyak orang sudah mengetahui apa itu praperadilan, namun tidak ada salahnya mengingat kembali hal tersebut. Menurut pasal 1 angka 10 KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang tiga hal. (Baca: Praperadilan Habib Rizeiq Ditolak, Begini Pertimbangan Hakim)

Pertama sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersaangka. Kedua sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan dan ketiga permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Namun MK dalam putusannya memperluas objek praperadilan setelah pada 28 April 2015 lalu, mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan terpidana kasus bio remediasi Chevron Bachtiar Abdul Fatah. Dalam putusannya, MK menyatakan pasal yang dimohonkan Bachiar, yakni Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP inkonstitusional, karena mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil.

Yang menarik, dalam putusannya itu, MK mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan. MK menambah penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan. Semenjak inilah, mau tidak mau harus diakui upaya praperadilan menjadi salah satu cara tersangka untuk meloloskan diri dari jeratan hukum.

Kemudian pihak-pihak yang dapat mengajukan praperadilan yaitu Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (sesuai Pasal 79 KUHAP).

Tags:

Berita Terkait