Mengenal Faithful Translation Method dalam Bahasa Hukum
Terbaru

Mengenal Faithful Translation Method dalam Bahasa Hukum

Pola dan susunan kalimat hingga paragraf yang dihasilkan dalam bahasa sasaran kaku dan asing. Acuan utama adalah pola dan susunan kalimat hingga paragraf dalam bahasa sumber.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Aktivitas penggunaan bahasa hukum lintas budaya yang sudah lama dikenal adalah penerjemahan teks hukum. Penerjemahan teks hukum yang tercatat sejarah pertama kali terjadi pada tahun 1271 SM. Isinya adalah perjanjian damai dalam dua bahasa antara orang Mesir dan orang Het Anatolia. “Terjemahan hukum telah meninggalkan jejak yang sangat panjang,” kata Profesor bahasa hukum sekaligus perbandingan hukum asal Finlandia, Heikki Eero Sakari Mattila dalam buku karyanya Comparative Legal Linguistics.

Penerjemahan teks hukum lainnya yang terkenal adalah Corpus juris civilis yang diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Yunani dan selanjutnya ke berbagai bahasa lainnya. “Hukum selalu terikat dengan bahasa. Bahasa hukum sudah ada selama hukum itu sendiri ada. Aspeknya didominasi penerjemahan teks hukum, penyusunan istilah hukum dalam kamus, dan pemakaian bahasa hukum,” kata Mattila.

Perlu dicatat bahwa ada perbedaan antara ‘penerjemahan’ dengan ‘penjurubahasaan’. Perbedaan itu berkaitan pula dengan perbedaan kompetensi serta hasil kerja ‘penerjemah’ dan ‘juru bahasa’. Pada prinsipnya, seorang penerjemah dan juru bahasa adalah memiliki keahlian melakukan alih bahasa. Namun, praktik saat ini membedakan penerjemah (translator) sebagai ahli dalam alih bahasa lewat tulisan, sedangkan juru bahasa (interpreter) adalah ahli dalam alih bahasa secara lisan. 

Baca Juga:

Haru Deliana Dewi dan Andika Wijaya menekankan perbedaan hasil kerja penjurubahasaan (interpreting) dalam soal waktu. “Penjurubahasaan merupakan kegiatan alih bahasa secara lisan. Hasil kegiatan itu disampaikan secara cepat dan langsung tanpa ada waktu untuk menyunting dan melihat kamus atau sumber bantuan lain,” kata keduanya dalam buku mereka berjudul Dasar-Dasar Penerjemahan Umum.

Di sisi lain, penerjemahan (translation) sebagai kegiatan alih bahasa memperhatikan banyak aspek kontekstual dalam menghasilkan terjemahan. Sebagai contoh, frasa bahasa Inggris a piece of cake diterjemahkan ‘sepotong kue’ dalam bahasa Indonesia. Namun, konteks kapan dan di mana penggunaan frasa itu bisa mempengaruhi maksud sebenarnya yang harus terkandung dalam hasil terjemahan.

“Dari abad Masehi sampai awal abad ke-19, para penerjemah selalu terbagi dua dalam cara menerjemahkan, cara yang terlalu setia dan cara yang terlalu bebas,” kata Haru dan Andika. Cara yang setia maksudnya dekat dengan bahasa sumber, sedangkan cara yang bebas maksudnya dekat dengan bahasa sasaran.

Tags:

Berita Terkait