Mengenal Kebiri Kimia dan Pemasangan Deteksi Elektronik terhadap Kejahatan Seksual Anak
Utama

Mengenal Kebiri Kimia dan Pemasangan Deteksi Elektronik terhadap Kejahatan Seksual Anak

Hukuman kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dilakukan segera setelah pelaku kejahatan seksual dan pencabulan menjalani pidana pokoknya.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi korban kejahatan seksual pada anak. BAS
Ilustrasi korban kejahatan seksual pada anak. BAS

Polemik hukuman kebiri kimia terhadap kejahatan seksual terhadap anak seolah berakhir setelah Presiden Jokowi menerbitkan PP No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak pada 7 Desember 2020. Sebelumnya, sejumlah aktivis/pegiat hak asasi manusia (HAM), Komnas HAM, termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memprotes hukuman kebiri kimia ini dengan dalih tidak menjamin efek jera dan cenderung melanggar HAM.

Bahkan, IDI pernah menolak menjadi eksekutor kebiri kimia karena alasan bertentangan dengan kode etik kedokteran (Kodeki) saat muncul kasus pemerkosaan 9 anak oleh M. Aris bin Syukur yang divonis 12 tahun penjara, denda Rp100 juta, dan hukuman tambahan berupa kebiri kimia oleh Pengadilan Negeri Mojokerto yang dikuatkan putusan pengadilan tingkat banding pada Agustus 2019 lalu. Aris dianggap melanggar Pasal 76D jo Pasal 81 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Hukuman tambahan kebiri kimia ini memang didasarkan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur larangan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak bersetubuh dengannya atau dengan orang lain. Atau lazim disebut kejahatan seksual terhadap anak.

Sedangkan Pasal 76E UU No. 35 Tahun 2014 mengatur larangan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Secara umum, pelaku kekerasan/kejahatan seksual dan pencabulan terhadap anak diancam pidana minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara serta denda maksimal Rp5 miliar.

Tak hanya itu, kedua pelaku jenis kejahatan itu dapat dijatuhi hukuman tambahan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik sebagaimana diatur Pasal 81, Pasal 81A dan Pasal 82, Pasal 82A Perppu No. 1 Tahun 2016. Hukuman kebiri kimia dijatuhkan bila memenuhi unsur: korban lebih dari 1 orang; mengakibatkan luka berat; gangguan jiwa; penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi; dan/atau korban meninggal dunia. Bahkan, pelaku bisa dihukum seumur hidup atau hukuman mati. (Baca Juga: Hukuman Kebiri Kimia Dinilai Tak Efektif Beri Efek Jera)

Dalam PP 70/2020 itu diatur tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Tindakan kebiri kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dikenakan terhadap pelaku persetubuhan. Tapi, tindakan kebiri kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik tidak berlaku bila pelakunya anak.    

Sementara pelaku perbuatan cabul dikenakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan rehabilitasi. Semuanya dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dilakukan oleh petugas yang memiliki kompetensi di bidangnya atas perintah jaksa.

Tags:

Berita Terkait