Mengenal Konsep Perwalian, Qiwamah, dan Hadhonah dalam Hukum Keluarga
Terbaru

Mengenal Konsep Perwalian, Qiwamah, dan Hadhonah dalam Hukum Keluarga

Relasi mubadalah suatu relasi yang berbentuk kerja sama dimana kebaikan dan kebahagiaan dilakukan oleh dan untuk kedua pihak suami dan istri. Keburukan dan kesengsaraan pun dihindari oleh keduanya juga.

Oleh:
CR-28
Bacaan 2 Menit
Dosen Tafsir Hadist IAIN Syekh Nurjati Cirebon Faqihuddin Abdul Kodir (kanan) dalam Kuliah Tamu Hukum Keluarga Kontemporer secara daring, Rabu (17/11/2021). Foto: CR-28
Dosen Tafsir Hadist IAIN Syekh Nurjati Cirebon Faqihuddin Abdul Kodir (kanan) dalam Kuliah Tamu Hukum Keluarga Kontemporer secara daring, Rabu (17/11/2021). Foto: CR-28

Hukum keluarga merupakan aspek hukum yang tidak terlepaskan dari kehidupan kita sehari-hari. Misalnya, dalam hukum keluarga Islam, ada tiga kunci utama dalam hukum keluarga yakni wilayah, qiwamah, dan hadhonah. Hal ini disampaikan oleh Dosen Tafsir Hadist IAIN Syekh Nurjati Cirebon Faqihuddin Abdul Kodir saat pemaparan materi di acara Kuliah Tamu Hukum Keluarga Kontemporer yang diselenggarakan Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada secara daring, Rabu (17/11/2021).

Pertama, wilayah atau perwalian dalam konteks hukum Islam didefinisikan sebagai seseorang berhak melindungi, mewakili, merepresentasikan orang lain. Konsep perwalian ini biasanya didapati sebelum menikah. Kedua, qiwamah, muncul pasca terjadinya pernikahan dimana laki-laki diartikan sebagai kepala keluarga yang paling bertanggung jawab dalam keluarga.

“Tidak ada istilah laki-laki kehilangan kewaliannya atau hilang ke-qiwamahan-nya. Misalnya, tidak bisa menafkahi, melakukan kekerasan, mengabaikan, laki-laki tidak ngurus anaknya dan sampai besar yang mengurus hanya ibunya, tetapi tetap saja setelah menikah yang dicari adalah bapaknya, laki-laki itu tadi, untuk menjadi wali,” kata Faqihuddin.  

Ketiga, hadhonah, pengurusan anak atau perawatan anak yang masih kecil (belum berumur 12 tahun),menjadi tanggung jawab ibu atau perempuan sesuai bunyi Pasal 105 (a) Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi, adakalanya terdapat syarat sesuai kemampuan si ibu menurut pertimbangan hakim. Misalnya, apabila ibu tidak memiliki uang atau bukan seorang ibu yang baik, maka kepengasuhannya dapat saja digugurkan oleh hakim.

Faqihuddin mencontohkan seperti kasus perceraian Krisdayanti (KD) dengan Anang Hermansyah. Dimana gugur hadhonah KD atas hak asuh anaknya dengan alasan Anang dianggap lebih mampu oleh majelis hakim ketimbang KD. “Inilah mengapa, berbeda dengan perempuan yang syarat kemampuannya dicek. Jika laki-laki sifatnya melekat pada jenis kelamin (wilayah dan qiwamah), akhirnya melahirkan hukum (hak dan kewajiban, red),” kata dia.

“Bahkan, praktik kemudian eksesif dan bisa jadi destruktif dimana laki-laki kemudian merasa jemawa (congkak) karena dimanapun tetap menjadi wali dan tetap menjadi kepala rumah tangga sekalipun kewajiban yang diberikan oleh hukum atau oleh Al-Qur'an dan hadits tidak dilakukan.”

Dengan begitu, kedua pihak baik laki-laki maupun perempuan memiliki tanggung jawab masing-masing. Seperti dalam hal wilayah, diartikan sebagai melindungi, memastikan dan bertanggung jawab terhadap keluarga, terutama anak sebagaimana dimandatkan pula dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). “Begitu pula qiwamah dan hadhonah sepantasnya yang melindungi tidak hanya suami, tapi juga istri,” ujarnya.  

Menurutnya, di Indonesia sendiri praktik hadhonah sudah dijalankan dengan baik, dimana baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi orang tua asuh dengan syarat memiliki kapasitas yang memadai menurut majelis hakim di Pengadilan. Dalam konteks ini, mubadalah hadir menjadi prinsip relasi antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat setara sebagai manusia yang sama-sama bermartabat (memikul hak dan kewajiban).  

“Relasi mubadalah suatu relasi yang berbentuk kerja sama dimana kebaikan dan kebahagiaan dilakukan oleh dan untuk kedua pihak suami dan istri. Keburukan dan kesengsaraan pun dihindari oleh keduanya juga,” jelasnya.

Prinsip kesetaraan dalam berumah tangga tersebut sejalan dengan bunyi Pasal 31 ayat (1) UU Perkawinan yang menyebutkan, “Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.”

Tags:

Berita Terkait