Mengenal Penerapan Indirect Evidence dalam Penanganan Kasus Kartel
Utama

Mengenal Penerapan Indirect Evidence dalam Penanganan Kasus Kartel

Penerapan bukti tidak langsung dapat membantu pemeriksaan pelanggaran persaingan usaha kartel. Namun sisi lain, penerapannya masih menimbulkan perdebatan.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

Dia mengatakan tantangan KPPU adalah pembuktian perjanjian dalam pemeriksaan kartel. Selain itu, dia juga mengatakan kualifikasi fakta atau tindakan-tindakan pelaku usaha yang mengindikasikan terjadinya kartel. Kemudian, dia juga menambahkan pemahaman penegak hukum terhadap bukti ekonomi juga rumit.

“Bagi orang hukum bukti ekonomi itu enggak kenal. Apalagi bagi penegak hukum yang biasa menangani kasus-kasus konvensional. Bagaimana hitung-hitungan itu saat diterapkan pada fakta dapat disimpulkan suatu perjanjian (terlarang). Ini tantangan berat, PR-nya yaitu untuk sosialisasikan pengertian-pengertian dari istilah yang ada di negara lain, ilmu lain dan dibawa menjadi ranah istilah hukum ini tidak mudah” kata Siti.

Ketua Umum Indonesian Competition Lawyer Association (ICLA) Asep Ridwan mengatakan UU 5/1999 tidak mengatur mengenai bukti petunjuk. Namun demikian, KPPU telah mengatur pada Peraturan KPPU 1/2019 telah mengatur bukti petunjuk. Dia membandingkan defenisi petunjuk antara Pasal 188 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan KPPU 1/1999.

Asep menjelaskan esensi petunjuk pada KUHAP adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Dia menjelaskan petunjuk hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan bukti petunjuk tersebut dilakukan hakim secara arif dan bijaksana setelah memeriksa dengan cermat dan seksama berdasarkan hati nurani.

Sementara, esensi petunjuk pada Perkom 1/2019 berupa bukti ekonomi dan bukti komunikasi bersifat pilihan sehingga salah satu bukti sudah cukup. Dengan satu bukti saja sudah cukup maka menunjukan penerapan indirect evidence yang harusnya menyeluruh hanya dapat dibuktikan dengan satu alat bukti saja. “Kritisi kami indirect evidence harusnya holistik menyeluruh jadi hanya alat bukti padahal perlu didukung analisa lainnya,” jelas Asep.

Kemudian, dia juga mengatakan prinsip indirect evidence lebih mengarah pada prinsip bukti ekonomi. Namun dia menjelaskan prinsip bukti ekonomi juga bisa bersifat ambigu misalnya kenaikan harga secara bersamaan. Menurutnya, kenaikan harga tersebut bisa terjadi secara alami tanpa terjadi pelanggaran persaingan usaha.

“Kenaikan harga itu berdasarkan hasil kesepakatan atau alamiah karena bahan baku sama, pajak naik, resesi, atau pihak kompetitor lakukan perubahan mereka (pesaing) juga lakukan perubahan. Ini bisa dilakukan secara independent tanpa perjanjian tertentu,” jelas Asep.

Sementara itu, Asep menambahkan bukti komunikasi yang digunakan dalam pemeriksaan seharusnya terjadi sebelum terjadinya indikasi kartel. “Kadang-kadang dugaan kartel tahun segini, tapi bukti komunikasinya kemudian. Bukti komunikasinya juga bukan sekali dua kali, dan bukti komunikasi itu punya kaitan satu sama lain (bukti ekonomi). Maka bukti itu holistik dan harus dites saling berkaitan,” jelasnya.

Dia menyarankan perlu ada pedoman dan konsistensi mengenai penerapan dan atau pengujian indirect evidence. Kemudian, dia juga mengusulkan agar diberikan akses yang luas untuk memeriksa berkas perkara untuk keperluan pembelaan bagi terlapor atau due process of law. KPPU juga diminta buat pedoman mengenai liniensi karena dapat menghapus denda bagi perusahaan melanggar setelah mengoreksi tindakan atau bekerja sama mengungkap kartel.

Tags:

Berita Terkait