Mengenang J. Satrio, Pujangga Hukum Indonesia
Kolom

Mengenang J. Satrio, Pujangga Hukum Indonesia

Dari tulisan Satrio, Penulis dapat memahami secara lebih mendalam dari hukum perjanjian yang tidak begitu tampak jika membaca karya tulis dari penulis lain.

Bacaan 4 Menit
Eddy Marek Leks. Foto: Istimewa
Eddy Marek Leks. Foto: Istimewa

Mendengar berita bahwa J. Satrio telah meninggal, saya langsung merasa sedih. Hampir selama seharian saya merasa tidak nyaman dalam bekerja, dan saya tidak mampu menjelaskan mengapa perasaan itu muncul. Saya rasa salah satu alasannya adalah karena saya sangat menghormati Almarhum, seorang penulis dan pemikir hukum perjanjian dan perdata yang sangat mendalam.

Saya teringat pada perkataan Benjamin Franklin, “Either write something worth reading or do something worth writing.” Hidup manusia singkat. Apa yang dilakukan seseorang selama ia hidup? Franklin telah mengajarkan agar seseorang hidup dengan perbuatan-perbuatna yang sedemikian rupa sehingga kehidupannya tersebut layak untuk ditulis atau seseorang menulis sesuatu yang berharga yang layak dibaca oleh orang lain.

Mengingat ucapan Franklin saya langsung teringat pada omongan dari Satrio sendiri mengenai alasannya rajin menulis, yang saya baca dari tautan pada Hukumonline.com. Ia mengatakan “Ayah saya dulu pernah berpesan, kamu dalam hidup mestinya meninggalkan suatu jejak, kenangan. Saya meninggalkan buku-buku ini sebagai sumbangsih. Ada sesuatu yang dikenang.” Ada keselarasan antara apa yang diungkapkan Franklin dan apa yang diungkapkan ayah Satrio, dan yang kemudian dilaksanakan oleh Almarhum semasa hidupnya. Ia sungguh meninggalkan “jejak-jejak” nyata dalam dunia hukum Indonesia.

Baca juga:

Penulis sendiri hanya merasakan pengajaran dari J. Satrio satu kali, yaitu ketika masih bekerja di HHP antara tahun 2004 - 2006. Salah satu topik yang dibahas yang masih teringat adalah mengenai pemberian kuasa, apakah sebagai perbuatan hukum sepihak atau suatu perjanjian timbal balik. Model Satrio mengajar, yang Penulis masih ingat, tidak hanya dengan cara memberikan materi, pengarahan, atau pengajaran secara langsung, melainkan juga menantang dengan pertanyaan dan permasalahan dari berbagai sudut pandang agar kemudian pendengar juga berpikir secara mandiri untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang didiskusikan.

Komunikasi terakhir dengan Almarhum terjadi kurang lebih 2 tahun lalu ketika Penulis hendak bertanya terkait permasalahan kuasa dari suatu perseroan terbatas. Penulis tidak serta merta mendapat jawaban terhadap pertanyaan tersebut, melainkan Almarhum malahan mengajukan pertanyaan-pertanyaan balik yang tidak mudah dijawab, dan meminta Penulis untuk memikirkan terlebih dulu sebelum berdiskusi kembali dengan Almarhum. Begitu-lah pengalaman singkat yang dialami Penulis, dalam pengajaran dan komunikasi bersama almarhum J. Satrio.

Terlepas dari singkatnya komunikasi langsung, Penulis sangat menikmati membaca berbagai buku J. Satrio, khususnya yang berkenaan dengan hukum perjanjian. Menurut Penulis, Satrio menuliskan dengan cara dan gaya yang berbeda dari yang lain. Penulisan dan pembahasan Satrio sangat mendalam, bersifat filosofis, sampai kepada akar dan latar belakang dari ketentuan hukum tertentu.

Tags:

Berita Terkait