Mengevaluasi Putusan Penolakan MK Soal Uji Formil dan Meteriil UU Minerba
Terbaru

Mengevaluasi Putusan Penolakan MK Soal Uji Formil dan Meteriil UU Minerba

Putusan MK perlu diapresiasi, namun terdapat beberapa catatan.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 8 Menit

Permohonan pemohon meminta MK, selama penundaan tersebut UU yang digunakan yaitu UU 4/2009. Alasannya demi penyelamatan sumber daya alam Indonesia yang sangat eksploitatif dan penghentian atas kerusakan lingkungan yang demikian masif di sebagian wilayah di Indonesia yang menjadi sentral kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Mahkamah berpendapat alasan permohonan provisi yang diajukan para pemohon berkaitan dengan potensi kerugian konstitusional para pemohon dan tidak serta merta berkaitan dengan kepentingan umum yang mendesak.

Lebih jauh MK menyatakan dugaan adanya keterkaitan antara permohonan pemohon dengan upaya penyelamatan sumber daya alam dan penghentian kerusakan lingkungan adalah berkaitan dengan materi atau substansi dari UU 3/2020, sedangkan permohonan para pemohon adalah mempermasalahkan mengenai proses pembentukan UU 3/2020 atau pengujian secara formil. Sehingga, dengan demikian alasan permohonan provisi tersebut menjadi tidak relevan dengan pokok permohonan. Itu artinya, bahwa permohonan provisi para pemohon tidak beralasan menurut hukum.

“Meskipun begitu, hal menarik dari putusan MK dalam uji formil ini karena terdapat tiga hakim MK yang memberikan pendapat berbeda atau sering disebut sebagai dissenting opinion. Ketiga hakim tersebut adalah Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Saldi Isra. Dalam sejarah pengujian formil suatu undang-undang di MK, belum pernah ada uji formil yang dikabulkan dan belum pernah ada yang mengajukan dissenting opinion sebanyak itu. Ini luar biasa pendapat ketiga hakim tersebut, sejarah baru bagi MK dan wajib kita beri applause,” jelasnya.

Dalam uji formil, terdapat tujuh alasan pemohon mengajukan gugatan pengujian formil. Menurut ketiga hakim tersebut, MK telah memutuskan dalam Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019, tertanggal 4 Mei 2021, yang menentukan standarisasi untuk menilai pengujian formil.

Adapun standarisasi tersebut; Pertama, pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan UU, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu UU menjadi UU. Kedua, pengujian atas bentuk, format, atau struktur UU. Ketiga, pengujian berkenaan dengan wewenang lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan UU. Keempat, pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.

“Standarisasi pengujian formil suatu undang-undang ini, yang dirumuskan dalam Putusan MK 79/PUU-XVII/2019 menarik dikaji lebih jauh. Hakim MK lainnya berpandangan bahwa standar tersebut bersifat kumulatif, sementara ketiga hakim MK lainnya berpendapat hal tersebut bersifat alternatif. Mana yang tepat?” Akmaluddin mempertanyakan.

Menurut ketiga hakim tersebut, penilaian keabsahan formalitas pembentukan undang-undang adalah merupakan keabsahan dari semua tahapan atau terpenuhinya semua standar yang dikemukakan di atas. Dalam hal ini, jika satu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah UU dapat dikatakan cacat formil dalam pembentukannya. Cacat formil suatu UU tidak perlu dibuktikan telah terjadi kecacatan dari semua tahapan atau kecacatan dari semua standar sepanjang kecacatan tersebut telah dapat dijelaskan dengan argumentasi dan bukti-bukti yang tidak diragukan sudah cukup untuk menyatakan adanya cacat formil pembentukan undang-undang.

Tags:

Berita Terkait