Menggali Peraturan Mengenai Profesor Honoris Causa
Kolom

Menggali Peraturan Mengenai Profesor Honoris Causa

Seharusnya, perundang-undangan mengatur mengenai kualifikasi perguruan tinggi yang bisa memberikan jenjang jabatan akademik Profesor Kehormatan, tidak melimpahkan ke masing-masing perguruan tinggi.

Bacaan 5 Menit
Menggali Peraturan Mengenai Profesor Honoris Causa
Hukumonline

Pada hari Jumat, 11 Juni 2021, Senat Akademik Universitas Pertahanan RI mengadakan Sidang Terbuka pemberian Gelar Profesor Kehormatan (Honoris Causa)/Guru Besar Tidak Tetap untuk Megawati Soekarno Putri. Peristiwa ini sangat menarik perhatian, mengingat begitu banyak timbul pro dan kontra dari berbagai kalangan atas pemberian gelar profesor kehormatan terhadap Presiden kelima RI tersebut.

Atas dasar itu, perlu untuk ditelisik dengan menggali lagi, apakah dalam peraturan bidang pendidikan dan pengajaran di Indonesia terdapat peraturan perundangan yang menjadi dasar atau rujukan yang jelas mengenai pemberian gelar Profesor Kehormatan/Profesor Honoris Causa. Mengingat selama ini gelar akademik yang bisa diberikan kepada seseorang adalah gelar Doktor Honoris Causa/DHC. Itu pun disertai dengan syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh calon penerima gelar dan memenuhi syarat kualifikasi kelayakan institusi yang memberikan gelar tersebut. Lain halnya gelar doktor, profesor adalah jabatan akademik tertinggi di dunia pendidikan tinggi.

Perguruan tinggi memberikan jabatan akademik profesor, apakah sah? Bagaimana mekanisme yang harus dilalui dan apakah syarat-syaratnya? Sebenarnya bukan pertama kali kejadian pemberian jabatan profesor. Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun pernah mendapatkan gelar Guru Besar Luar Biasa dari Universitas yang sama (Unhan RI). Ada juga Otto Hasibuan mendapat tersebut dari Universitas Jayabaya dan Chairul Tanjung mendapatkannya dari Universitas Airlangga di Surabaya.

Peraturan perundangan mengenai pemberian sebutan profesor pada guru besar tertulis pertama sejak kemerdekaan adalah Surat Keputusan Menteri Pedidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Nomor 72 tahun 1962 tentang Pedoman Sementara mengenai Pengangkatan Guru Besar pada Perguruan Tinggi dan Penggunaan sebutan Profesor. Menurut SK tersebut, guru besar adalah jabatan dalam suatu perguruan tinggi. Profesor adalah pengakuan dan penghormatan tertinggi pada seorang pengajar di perguruan tinggi/universitas. Persyaratan untuk seseorang agar bisa diangkat menjadi guru besar menurut SK tersebut, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1). Mempunyai spesialisai bidang ilmu; 2). Menulis karya ilmiah dalam bentuk buku, majalah, jurnal, disertasi; 3). Memiliki pengalaman mengajar; 4). Bermoral dan berintegritas tinggi; dan 5). Berjiwa Pancasila.

Ketika terjadi pembaruan dalam sistem dan pemerintahan secara nasional, SK No. 74 tahun 1962 kemudian digantikan dengan SK Mendikbud No. 211/P/1976 yang menjadi dasar bagi sistem pendidikan nasional. Secara hierarki, SK tersebut pula yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-undang tersebut mengatur bahwa jabatan akademik guru besar hanya bisa diisi oleh seorang dosen dengan yang memiliki kualifikasi akademik bergelar Doktor/Ph.D. Ketentuan tersebut pun diatur di dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Setelah dikeluarkan UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada Pasal 72 ayat (5) mengatur mengenai pemberian jabatan akademik profesor. Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik profesor, atas usulan Perguruan Tinggi. Pengangkatan yang dimaksud dalam ayat tersebut, diatur menurut Peraturan Menteri.

Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, di Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa guru besar/profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Di Pasal 48 ayat (3), mengatur tentang kualifikasi akademik untuk jabatan profesor. Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor, harus memiliki kualifikasi akademik doktor. Pasal 49 ayat (1) menyebutkan, profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor. Pada ayat (2) pasal tersebut, menyebutkan bahwa profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta meyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat. Dengan meneliti peraturan perundangan yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa menteri dapat mengangkat seseorang pada jenjang jabatan akademik profesor, dengan catatan sesuai dengan syarat-syarat yang telah diatur di dalam peraturan perundangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait