Menggali Peraturan Mengenai Profesor Honoris Causa
Kolom

Menggali Peraturan Mengenai Profesor Honoris Causa

Seharusnya, perundang-undangan mengatur mengenai kualifikasi perguruan tinggi yang bisa memberikan jenjang jabatan akademik Profesor Kehormatan, tidak melimpahkan ke masing-masing perguruan tinggi.

Bacaan 5 Menit

Gelar Doktor Kehormatan dan Jabatan Profesor Kehormatan

Berbeda dengan jabatan akademik Profesor Kehormatan, pemberian gelar Doktor Kehormatan/Dr. HC, sudah diatur secara tegas dan jelas di dalam beberapa peraturan tertulis di negeri ini. Dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi di Pasal 26 mengatur tentang gelar akademik pada perguruan tinggi, yaitu Sarjana, Magister dan Doktor. Pada Pasal 27 mengatur tentang pemberian gelar Doktor Kehormatan.

Hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Permenristek Dikti No. 65 tahun 2016 tentang Pemberian Gelar Doktor HC. Gelar Doktor HC merupakan gelar kehormatan yang diberikan oleh perguruan tinggi yang memiliki program doktor dengan peringkat akreditasi A atau unggul, kepada perseorangan yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, tehnologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan.

Secara internal, beberapa perguruan tinggi pun memiliki aturan baku mengenai pemberian gelar Doktor Kehormatan, misalnya Universitas Indonesia mengatur di dalam Pasal 14 Statuta UI (Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2013). Selain itu juga diatur di dalam Peraturan Majelis Wali Amanat UI No. 001 tahun 2017. Tapi tidak demikian dengan Profesor Kehormatan. Sampai saat ini belum ada aturan baku yang dibuat untuk tingkat internal UI mengenai pemberian jabatan akademik Profesor Kehormatan.

Mengenai jabatan akademik profesor, diatur di dalam Pasal 72 ayat (5) Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyebutkan, Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik profesor, atas usulan perguruan tinggi. Namun demikian, perguruan tinggi seharusnya berhati-hati dalam memberikan jabatan akademik Profesor Kehormatan, agar tidak menimbulkan keresahan dan kontroversi dalam masyarakat.

Institusi Pemberi Jabatan Akademik Profesor Kehormatan

Perguruan Tinggi sebagai institusi pendidikan seharusnya secara terdidik dan bertanggung jawab, memberikan jabatan akademik profesor kepada seorang tokoh nasional. Yang harus diperhatikan oleh perguruan tinggi tersebut adalah ketentuan di dalam Pasal 72 ayat (3) Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi yang mengatur mengenai syarat-syarat untuk bisa seseorang diusulkan agar mendapatkan jenjang akademik profesor, antara lain: memiliki pengalaman 10 tahun sebagai dosen tetap, memiliki publikasi ilmiah, berpendidikan doktor/sederajat.

Seharusnya, undang-undang atau peraturan Menteri juga mengatur mengenai kualifikasi perguruan tinggi yang bisa memberikan jenjang jabatan akademik Profesor Kehormatan, tidak melimpahkan ke masing-masing perguruan tinggi, hal ini jelas akan menimbulkan ketimpangan aturan. Secara teknis, belum ada aturan baku tingkat kementerian yang mengatur tentang pemberian jenjang jabatan akademik profesor. Untuk dapat memberikan gelar doktor kehormatan, perguruan tinggi tersebut harus memiliki program doktor yang terakreditasi A, apalagi jika perguruan tinggi tersebut akan memberikan jabatan akademik profesor kehormatan. Logikanya, seharusnya lebih baik atau setidaknya sama kualifikasinya. Jabatan akademik profesor itu merupakan jabatan tertinggi di dunia akademis sehingga persyaratan untuk mencapai jenjang tersebut harus sesuai dengan koridor dan aturan yang ada. Bahkan Dirjen Pendidikan Tinggi menyebutkan bahwa tidak ada gelar profesor kehormatan di perguruan tinggi. Hal tersebut disampaikan oleh Nizam, sebagai Dirjen Dikti dari Kemenristek Dikti, sebagai tanggapan atas pemberian gelar profesor kehormatan kepada MSP oleh Universitas Pertahanan RI.

Para pejabat dan petinggi negara ini harus bisa membedakan ranah akademik dan ranah politik. Jangan sampai pemberian jabatan profesor kehormatan yang tidak sesuai dengan aturannya, ke depan akan dijadikan preseden buruk oleh institusi lain hanya untuk kepentingan politis. Negara ini masih membutuhkan para guru besar yang bisa digugu dan ditiru, tidak hanya guru besar yang hanya stempel atau cap saja. Semakin negara ini memiliki banyak profesor, akan memberikan warna sendiri bagi dunia akademis di Indonesia. Juga akan meningkatkan penilaian akreditasi suatu perguruan tinggi.

Tags:

Berita Terkait