Menggugat Autentikasi Surat KMA Nomor 73 Tahun 2015
Kolom

Menggugat Autentikasi Surat KMA Nomor 73 Tahun 2015

Surat KMA Nomor 73 harus batal demi hukum (van rechtwageneting) ketika diajukan melalui Peradilan Tata Usaha Negara.

Bacaan 9 Menit

Kondisi mengenai kewenangan penyumpahan demikian semakin diperunyam dengan keluarnya Surat Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 (Surat KMA Nomor 73) yang justru ‘membukakan pintu’ bagi organisasi advokat selain PERADI untuk mengusulkan penyumpahan calon advokat di Pengadilan Tinggi pada wilayah hukum domisili Advokat.

Kondisi contradiction in terminis kembali terjadi ketika mengkaitkan Surat KMA Nomor 73 dengan beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi dan bahkan dengan Putusan Mahkamah Agung yang in krach van guisde mengenai berakhirnya langkah litigatif pada gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan Fauzie Yusuf Hasibuan-Thomas E. Tampubolon terhadap kubu Luhut MP Pangaribuan.

Putusan Mahkamah Agung demikian memunculkan beberapa implikasi yuridis berkaitan dengan eksistensialisme PERADI. Sebagaimana diketahui, gugatan Fauzi-Thomas tersebut telah diputus oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 3085 K/PDT/2021 tanggal 4 November 2021 yang amar putusannya menyatakan "mengabulkan gugatan Penggugat sebagian", serta "menyatakan sah Penggugat Dr. H. Fauzie Yusuf Hasibuan, S.H., M.H. dan Thomas E. Tampubolon, S.H., M.H. masing-masing adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) Periode 2015-2020 berdasarkan keputusan Musyawarah Nasional II PERADI di Pekanbaru pada tanggal 12-13 Juni 2015". Adapun dalam rekonpensi putusan Kasasi ini juga menegaskan "Menolak Gugatan Rekonpensi Penggugat Rekonpensi untuk seluruhnya".

Pada kulminasi demikian, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana kategorisasi (Nomenklatur) Surat KMA Nomor 73 dalam perspektif instrumen hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung? Bagaimana validitas Surat KMA Nomor 73 terhadap Putusan Mahkamah Agung maupun Putusan Mahkamah Konstitusi? Dua pertanyaan inilah yang selanjutnya menjadi fokus kajian pada tulisan sederhana dimaksud.

  1. Menggugat Kategorisasi Nomenklatur Surat KMA Nomor 73 Sebagai Instrumen Hukum Mahkamah Agung.

Menelaah kewenangan diskresioner Ketua Mahkamah Agung (MA) yang diwujudkan dalam instrumen yuridis tekstual, tentu berakibat hukum melahirkan peraturan kebijaksanaan. Pada konteks demikian, maka peraturan kebijaksanaan hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan sehingga tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan. Kewenangan diskresioner Ketua MA disebut psudeowetgeving (Per-uu-an semu) atau spigelsrecht (hukum bayangan).

Kekuatan mengikat Surat Edaran Ketua MA RI sebenarnya merupakan peraturan kebijaksanaan yang pada dasarnya ditujukan kepada lingkungan MA sendiri. Artinya peraturan kebijaksanaan hanya mengikat lingkungan MA atau di bawahnya. Pembuatan peraturan kebijaksanaan harus memperhatikan hal-hal: 1). Tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkan itu; 2). Tidak boleh nyata bertentangan dengan nalar yang sehat; 3). Dipersiapkan dengan cermat; 4). Isi dari kebijaksanaan harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari warga yang terkena peraturan tersebut; 5). Tujuan dan dasar pertimbangan mengenai kebijaksanaan yang akan ditempuh harus jelas; 6). Harus memenuhi syarat kepastian hukum material.

Sedangkan penggunaan peraturan kebijaksanaan harus memperhatikan: 1). Sesuai dan serasi dengan tujuan UU yang memberikan ruang kebebasan bertindak; 2). Serasi dengan asas-asas hukum umum yang berlaku (a. asas perlakuan yang sama menurut hukum, b. asas kepatutan dan kewajaran, c. asas keseimbangan, d. asas pemenuhan kebutuhan dan harapan, e. asas kelayakan mempertimbangkan kepentingan publik dan warga masyarakat); 3). Serasi dan tepat guna dengan tujuan yang hendak dicapai.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait