Mengkonstruksikan Terorisme untuk Merumuskan Terorisme
Kolom

Mengkonstruksikan Terorisme untuk Merumuskan Terorisme

​​​​​​​Mendefinisikan terorisme adalah amat penting karena terorisme menimbulkan risiko yang besar terhadap masyarakat.

Bacaan 2 Menit

 

Krista McQueeney (2014) menyebutkan bahwa terorisme dikonstruksi melalui interprestasi suatu peristiwa, melalui suatu klaim dengan penggunaan bahasa dan simbol-simbol tertentu serta melalui kerja-kerja dari para pembuat klaim yang bertujuan menarik perhatian dan membentuk opini publik. Bahasa-bahasa dan simbol-simbol tersebut kemudian disirkulasikan dan direproduksi dan akhirnya menjadi bagian dari budaya.

 

Sebagai contoh, Said (1978) dalam McQueeney (2014) memaparkan bahwa sejak awal perjumpaan dengan dunia Arab, orang-orang barat (westerners) telah memberikan label bahwa dunia Arab adalah kurang beradab dan sarat kekerasan (uncivilized and violence).  Imaji terhadap Arab (dan juga Muslim) seperti ini terus dikontrol dan direproduksi sehingga membekas dalam imajinasi warga Amerika sejak 9/11. Dengan melukiskan Timur Tengah sebagai daerah yang barbar dan tiran, dan secara rutin melekatkan Arab dan Muslim sebagai teroris, maka media massa telah menyokong eksistensi kalangan beradab (civilized) terhadap kalangan tidak beradab  (uncivilized) dan menumbuhkan ketakutan terhadap Arab (Hirchi, 2007 dalam McQueeney, 2014).

 

Setelah serangan terorisme 9/11, juga lahir asumsi umum bahwa hanya satu cara yang bersifat universal untuk mengkonseptualisasi terorisme yang eksis. Pandangan ini amat dominan dalam pemikiran barat. Biasa disebut sebagai orthodox view of terrorism. Dan pandangan ini telah mempengaruhi diskursus dalam masyarakat dan perumusan kebijakan terkait terorisme. Padahal, ada juga cara lain untuk mengkonseptualisasi terorisme. Karena apa yang kita klasifikasikan sebagai terorisme dan siapa yang diberikan label sebagai teroris, amat bergantung pada sudut pandang dan pendekatan yang dipilih dalam menjawab pertanyaan tersebut. Ini yang kemudian disebut sebagai critical view of terrorism.

 

Kemudian, media massa juga memberikan pengaruh penting terhadap pendefinisian terorisme (Jenkins, 2003). Di Amerika Serikat, misalnya, para reporter dan politisi lebih suka untuk melabel-kan terorisme hanya pada individu atau grup yang berakar di luar negeri, seperti Al Qaeda, daripada terorisme yang berasal dari dalam negeri (home-grown terrorism). Begitu banyaknya kasus penembakan massal oleh pelaku tunggal (lone wolf) di Amerika Serikat, apakah terjadi di sekolah, universitas, tempat ibadah, tempat hiburan, dan lain-lain, walaupun memakan begitu banyak korban, tetap saja tak disebut sebagai terorisme ketika tersangka pelaku-nya tak memiliki relasi dengan dunia Arab maupun dunia Islam.

 

Selain pembuat hukum dan media massa, para politisi juga amat berperan penting dalam mengkonstruksikan terorisme. McCauley (2004) berpendapat bahwa terorisme secara umum di-framing oleh media dan politisi sebagai suatu tindakan peperangan ataupun sebagai kejahatan. Bila frame yang dilekatkan bahwa terorisme adalah suatu perang maka sang teroris dianggap sebagai tentara dan tindakan terorisme sebagai suatu aksi peperangan. Sementara itu apabila frame yang dipakai adalah terorisme dianggap sebagai aksi kriminalitas maka sang teroris dianggap sebagai penjahat dan proses peradilan pidana akan dilakukan kepadanya.

 

Kruglanski, Crenshaw, Post dan Victoroff (2007) menyebutkan bahwa ada empat metafora umum terhadap terorisme yang berlaku saat ini yang mempengaruhi tindakan kontra terorisme yang diambil terhadap terorisme. Menganggap terorisme sebagai penyakit, maka tindakan kontra terorismenya berupa pencarian obat atau metode untuk mengobati orang-orang yang terindoktrinasi. Menganggap terorisme sebagai akibat dari konflik hebat antar kelompok akan melahirkan tindakan kontra terorisme berupa strategi penyelesaian konflik yang mumpuni. Memandang terorisme sebagai tindakan perang akan melahirkan kontra terorisme dalam bentuk perlawanan terhadap tentara-tentara dari pihak musuh. Dan memandang teroris sebagai penjahat akan melahirkan tindakan untuk melakukan penegakan hukum kepada teroris dalam bentuk penangkapan, penuntutan,  pengadilan dan penghukuman mereka. 

 

Livio Nimmer (2011) menyebutkan bahwa setelah peristiwa 9/11 istilah ‘terorisme’ banyak dieksploitasi oleh para politisi. Terorisme telah menjadi terminologi utama pada pusat narasi budaya barat seperti hal-nya terminologi “kebebasan’ (Freedom) dan ‘demokrasi’ (democracy). Pada saat bersamaan, adalah tetap tidak mungkin untuk mendefinisikan apa yang sebenarnya dimaksud dengan terorisme tersebut. Tak ada definisi yang resmi dan disepakati bersama, selama ini.

Tags:

Berita Terkait