Mengukur Besar Pengaruh Indeks EoDB Terhadap Reformasi Regulasi Indonesia
Terbaru

Mengukur Besar Pengaruh Indeks EoDB Terhadap Reformasi Regulasi Indonesia

Mencari pengaturan yang ideal bagi reformasi regulasi bagi hukum ekonomi Indonesia tidak akan cukup diperoleh hanya dari indikator-indikator dan parameter yang ada pada indeks EoDB, namun juga harus mampu mengakomodasi kondisi empiris yang ada di Indonesia.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 7 Menit

Misalnya kebijakan untuk membuat persyaratan modal dasar Perseroan Terbatas pada PP Nomor 29 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas, PP Nomor 24 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, Perma Nomor 2 Tahun 2015 jo. Perma Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, Perma Nomor 3 Tahun 2018 sebagaimana telah dicabut dan diubah oleh Perma Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Secara Elektronik di Pengadilan atau bahkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Dari perspektif kepastian hukum, semua peraturan penting bagi pembaruan hukum ekonomi di atas memiliki permasalahan dari perspektif teknik perancangan perundangan. Semua PP dan Perma yang disebut diatas bisa diklaim sebagai tidak sesuai dengan prinsip lex superior derogat legi inferiori yang diatur oleh UU Nomor 12 Tahun 2011. Khusus untuk PP Nomor 24 Tahun 2018 bahkan sudah pernah diajukan pengujian Hak Uji Materiil oleh masyarakat ke Mahkamah Agung, pengujian mana ditolak oleh Mahkamah Agung,” ungkap Aria.

Kemudian, proses pembaruan Kemudahan Berusaha pada periode 2015-2020 telah menunjukkan bahwa pendekatan a Whole government approach ternyata mampu memberikan hasil konkret dalam waktu relatif singkat dalam suatu proses reformasi regulasi. Dalam a whole government approach di Indonesia tidak hanya melibatkan eksekutif saja, tetapi juga melibatkan Legislatif dan Yudikatif sesuai dengan tugas dan fungsi yang telah diatur dalam Konstitusi.

Penyelesaian UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan metode omnibus law menunjukkan model whole government approach yang berhasil menghasilkan produk legislasi yang diinginkan, terlepas dari berbagai kendala teknis dan substansi. Mahkamah Agung sebagai kekuasaan Yudikatif juga mengambil posisi mendukung terhadap kemudahan berusaha sebagai prioritas nasional.

Mahkamah Agung berhasil menyediakan solusi sementara bagi macetnya agenda reformasi hukum acara perdata dengan memperkenalkan Gugatan Sederhana dan prosedur Persidangan secara elektronik sebagai kontribusi terhadap indikator Enforcing Contract. Selain itu juga Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 yang mencoba mengatur transparansi dan akuntabilitas dan mengisi kekosongan kebutuhan pelaksanaan proses kepailitan di lapangan.

Satu lagi yang perlu diperhatikan, dukungan Mahkamah Agung kepada reformasi regulasi, melalui Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 69 P/HUM/2019 yang amarnya menolak permohonan Hak Uji Materiil (HUM) yang diajukan terhadap PP Nomor 24 Tahun 2018 Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, dan mengamankan implementasi sistem OSS yang pastinya akan berantakan, apabila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan HUM tersebut.

Sayangnya, Aria menyampaikan hingga 2020 agenda reformasi hukum ekonomi belum berhasil menjangkau agenda legislasi formal. Belum satupun Undang-undang yang perlu dirubah dalam agenda reformasi kemudahan berusaha berhasil masuk ke Program Legislasi Nasional. Reformasi hukum yang sifatnya mendasar seperti Hukum Acara Perdata, sistem eksekusi yang memang menjadi biang keladi rendahnya peringkat Survei EoDB nya pada indikator Enforcing Contract sama sekali belum tersentuh.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait