Selain itu, kata Budi, pengaturan tindak pidana kohabitasi (hidup bersama tanpa ikatan perkawinan) atau kumpul kebo. Pengaturan kohabitasi dalam KUHP baru merupakan hal baru sebagaimana diatur Pasal 412 KUHP. Dalam KUHP peninggalan kolonial tidak mengatur kohabitasi, sehingga bila pasangan yang tidak terikat perkawinan dan hidup bersama tidak dapat dikriminalisasi. Tapi, dengan KUHP baru hal tersebut sebagai tindak pidana. Ancaman pidana penjara maksimal 6 bulan bagi yang melanggar aturan larangan kohabitasi tersebut.
Sama halnya dengan delik perzinahan, kohabitasi merupakan delik aduan absolut. Sepanjang tidak adanya aduan, pelaku kohabitasi tak dapat dituntut. Pihak yang memiliki hak membuat aduan kohabitasi adalah suami atau istri yang terikat perkawinan, dan orang tua atau anaknya yang tidak terikat perkawinan. Namun, masih diberikan peluang menarik aduan atau laporan sepanjang belum masuk pemeriksaan di persidangan.
Ia melihat pengaturan kohabitasi menyerap realisasi sosial, budaya, dan keagamaan yang terdapat di masyarakat Indonesia. Kultur masyarakat Indonesia cenderung memandang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan adalah perbuatan keliru dan tercela. Karenanya, KUHP baru mencoba mengkriminalisasi perbuatan kohabitasi tersebut.
Pasal ini menjadi kontroversi ketika membandingkan dengan masyarakat negara lain yang memiliki budaya dan pandangan nilai-nilai privasi terkait hak seksualitas dilindungi. Hal tersebut merupakan hal wajar karena ada perbedaan dimensi budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya.
Menurutnya, terdapat reorientasi nilai yang coba diakomodir sistem nilai ke-Indonesiaan dalam delik perzinahan dan kohabitasi dalam KUHP baru yang filosofinya berupa penjagaan dan penghormatan terhadap institusi/lembaga perkawinan dan nasab keturunan. Hal ini berbeda dengan KUHP kolonial dengan sistem nilai kolonial di masa itu. “Kalau tidak ada pengaturan, nasabnya nanti tidak bersambung dan ada yang dirugikan nanti.”
Pria yang sebelumnya Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung itu melanjutkan reformulasi pasal perzinahan dan kohabitasi dalam KUHP baru tak melulu harus mengakomodir hukum modern dari negara maju. Tapi, tetap harus disaring terlebih dulu apakah hukum modern negara maju tersebut sesuai dengan nilai dan budaya masyarakat Indonesia atau sebaliknya.
“Nah, pembentuk UU melihat perlu ada reorientasi pengembangan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat untuk diakomodir dalam pembaharuan KUHP.”
Sementara Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menilai delik perzinahan dan kohabitasi merupakan pengaturan yang bagus dalam KUHP baru. Sebab, terhadap orang yang melakukan perzinahan maupun kohabitasi tidak serta merta dapat diadukan atau dilaporkan ke aparat penegak hukum. Namun, dalam implementasi di lapangan, Bivitri memperkirakan bakal menimbulkan persoalan.
Misalnya, bila seseorang dilaporkan melakukan delik perzinahan dan diproses hukum terlebih dahulu. Namun belakangan tak dapat dilakukan penuntutan akibat pelapor bukan pihak keluarga yang memiliki hak membuat aduan. Sementara orang yang dilaporkan sudah menjadi tersangka. “Itu artinya ada masalah. Dua level ini harus kita bicarakan, sehingga menjamin penggunaan aturan ini. Ini karakter absolut dan harus dihilangkan dari KUHP modern,” sarannya.