Mengurai Problematika Pengadilan Tipikor Pasca-Terbit UU 46/2009
Terbaru

Mengurai Problematika Pengadilan Tipikor Pasca-Terbit UU 46/2009

Pembentukan pengadilan tipikor diharapkan dapat meningkatkan pemberantasan tipikor di Indonesia.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit

Konsekuensi dari UU 46/2009 tersebut yaitu, pembentukan Pengadilan Tipikor di tiap ibu kota provinsi dan kabupaten/kota. Namun, dalam pelaksanaannya, terdapat permasalahan dalam persidangan dan juga belum terlaksananya pengadilan tipikor di setiap ibu kota kabupaten dan kota.

“Dalam pelaksanaannya MA tidak menutup mata adanya berbagai masalah yang perlu disikapi dan perhatian untuk tingkatkan penyelenggaraan peradilan pada perkara korupsi yang berkualitas dan efektif,” jelas Andi.

Selain itu, perlu juga penguatan hakim bersertifikat dan adhoc pada perkara korupsi untuk meningkatkan kualitas putusan yang berkeadilan. Kemudian, perlu juga meningkatkan minat hakim bersertifikat untuk ditunjuk atau ditempatkan menangani perkara korupsi karena beban kerja tinggi namun belum diberi penghargaan yang baik sehingga harus dipertimbangkan. Tidak lupa, aparat penegak hukum perkara korupsi juga harus diberi penghargaan baik dengan tunjangan pada setiap berkas perkara korupsi.

“Tantangan dan godaan sangat besar maka integritas dan profesionalisme pada hakim bersertifikat pada hakim dan hakim ad hoc harus berkesinambungan dilakukan, MA berupaya akreditas penjaminan mutu peradilan wilayah bebas korupsi, wilayah bersih melayani, serta pembinaan oleh MA dan peradilan tinggi. MA berkomitmen penguatan tipikor keluarkan Peraturan MA dan Surat Edaran disebabkan dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan,” jelas Andi.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menyampaikan Pengadilan Tipikor seharusnya menjadi contoh bagi pengadilan secara umum dari aspek administrasi perkara, fasilitas pengadilan yang efisien, transparan dan akuntabel serta didukung teknologi informasi. Selain itu, Pengadilan Tipikor harus mampu melahirkan putusan yang berkualitas dan kedepankan argumentasi hukum yang baik.

Pengadilan Tipikor juga harus memperbaiki proses penanganan perkara dan kualitas putusan sehingga menjawab masalah-masalah hukum yang ada dengan baik dan jadi rujukan serta beri kepastian hukum. Hal lain, mengenai beban kerja hakim tipikor yang berlebihan sehingga jalannya persidangan tidak efisien.

“Berdasarkan pengalaman saya ketika jadi hakim ad hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pernah sidang sampai jam 2 pagi dan sering berakhir sampai tengah malam. Ini jadi kebiasaan rutin karena banyaknya perkara dan jumlah hakim tipikor terbatas yang menangani 5-6 perkara per hari, ini biasa,” jelas Alexander.

Selain itu, keamanan para pihak juga harus ditingkatkan karena kasus tipikor mengundang perhatian tinggi publik. “Dulu sering ditemui saksi-saksi datang tanpa pengawalan dan ada juga terdakwa duduk dalam ruang sidang karena nunggu sidang berikutnya,” jelas Alexander.

Dia juga menjelaskan tersebarnya peradilan tipikor di setiap daerah memiliki tantangan tersendiri bagi KPK. Hal ini karena lokasi KPK yang masih terpusat di Jakarta. “Mengingat kedudukan KPK ada di ibu kota itu menjadi tantangan tersendiri sehingga biaya penuntutan tinggi dan cukup sita waktu. Setiap minggu harus bolak-balik belum lagi jumlah saksi-saksi yang lebih banyak dari yang lainnya,” jelas Alexander.

Tags:

Berita Terkait