Menilik 3 Peraturan Kejaksaan dalam Penerapan Restorative Justice
Terbaru

Menilik 3 Peraturan Kejaksaan dalam Penerapan Restorative Justice

Ada dalam bentuk peraturan jaksa maupun pedoman.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Foto: Humas Kejagung
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Foto: Humas Kejagung

Keadilan restoratif atau Restorative Justice yang telah diterapkan dalam penanganan perkara di institusi Kejaksaan bukanlah isapan jempol. Setidaknya sudah terdapat 2.103 perkara yang dihentikan penuntutannya melalui mekanisme keadilan restoratif. Dalam penerapan keadilan restoratif di tingkat penuntutan, Kejaksaan telah membuat instrumen hukum sebagai panduan bagi jaksa dalam penanganan perkaranya.

Hukum yang baik idealnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum,” ujar Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam melalui keterangannya, Rabu (30/11/2022).

Menurutnya, dalam pelaksanaan penerapan keadilan restoratif, Kejaksaan telah menerbitkan tiga aturan yang menjadi paying hukum dan pedoman jaksa dalam menerapkan restorative justice dalam penanganan perkara. Pertama, Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Beleid tersebut sebagai bentuk diskresi penuntutan dalam penanganan perkara dengan menerapkan keadilan restoratif. Melalui aturan internal tersebut, diharapkan jaksa dapat menggunakannya sebagai pedoman serta menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan asas kemanfaatan yang bakal dicapai.

Kejaksaan pun membentuk wadah Rumah Restorative Justice atau Rumah RJ. Wadah tersebut sebagai bentuk tindak lanjut pelibatan unsur dari masyarakat dalam setiap upaya perdamaian penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak korban, tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang terkait.

Menurut Jaksa Agung, Rumah RJ berfungsi sebagai tempat dalam menyerap nilai-nilai kearifan lokal. Selain itu, upaya dalam menghidupkan kembali peran serta tokoh masyarakat, agama dan adat untuk bersama-sama dengan jaksa dalam proses penyelesaian perkara yang berorientasikan pada perwujudan keadilan subtantif.

Kedua, Pedoman Kejaksaan (Perja) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. Nah, pedoman tersebut sebagai panduan jaksa dalam menangani setiap perkara pidana yang melibatkan kalangan perempuan dan anak. Bahkan mengoptimalkan pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum. “Terlebih sebagai korban tindak pidana,” imbuhnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait