Menilik 3 Peraturan Kejaksaan dalam Penerapan Restorative Justice
Terbaru

Menilik 3 Peraturan Kejaksaan dalam Penerapan Restorative Justice

Ada dalam bentuk peraturan jaksa maupun pedoman.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) itu berpendapat Perja 1/2021 menjadi terobosan korps adhyaksa dalam menjawab berbagai persoalan hukum. Serta kendala dalam pelaksanaan sejumlah peraturan perundangan yang ada. Seperti hambatan prosedur pembuktian kasus, kerancuan dalam menentukan posisi korban dan pelaku. Kemudian, hambatan koordinasi dengan pihak lain terkait. Serta hambatan sumber daya manusia (SDM) jaksa yang belum memiliki cara pandang gender dan anak.

Ketiga, Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa. Melalui pedoman tersebut, regulasi yang mengedepankan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian perkara penyalahgunaan narkoba yakni dengan cara, mengobati para pecandu dan korban penyalahguna narkoba.  

Lebih lanjut Burhanuddin berpandangan penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan dengan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif memiliki ciri khas yang menjadi pengembangan konsep restorative justice. Yang pasti, melalui konsep keadilan restoratif, Kejaksaan berupaya menyeimbangkan antara pemulihan bagi korban serta memperbaiki perilaku pelaku demi mewujudkan keadilan.

“Sehingga sejalan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak lagi ditemukan penegakan hukum yang tidak berkemanfaatan,” katanya.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana menambahkan banyaknya permohonan dilakukannya restorative justice terhadap perkara ringan. Setidaknya ada sejumlah alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative yakni telah dilaksanakannya proses perdamaian dan tersangka telah meminta maaf. Kemudian pihak korban pun telah memberikan maaf kepada pelaku.

Kemudian tersangka belum pernah dihukum, baru pertama kali melakukan perbuatan pidana. Selanjutnya, ancaman pidana denda atau penjara tak lebih dari 5 tahun. Alasan lainnya, tersangka berjanji tak akan lagi mengulang perbuatannya. Begitu pula dengan proses perdamaian dilakukan secara sukarela melalui musyawarah mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi. Tak kalah penting, tersangka dan korban bersepakat untuk tidak melanjutkan persoalannya ke persidangan karena tak akan membawa banyak manfaat besar.

“Kemudian pertimbangan sosiologis dan masyarakat merespon positif,” katanya.

Tags:

Berita Terkait