Menilik Andil Juru Sita Pengadilan dalam Persidangan Perdata
Kolom

Menilik Andil Juru Sita Pengadilan dalam Persidangan Perdata

Fungsionaris hukum pendukung persidangan perdata yang seimbang. Penguasaan teknologi informasi dan komunikasi mutlak perlu dimiliki seorang juru sita.

Bacaan 6 Menit
Johannes Edison Haholongan. Foto: Istimewa
Johannes Edison Haholongan. Foto: Istimewa

Juru sita pengadilan merupakan salah satu petugas pengadilan yang memainkan peran besar dalam sebuah persidangan perdata, khususnya dalam perkara gugatan. Tanpa mereka, sebuah persidangan dapat dikatakan tidak bisa berjalan dengan apik. Namun demikian, perannya acap kali dipandang sebelah mata. Bagi sebagian orang, menerima suatu panggilan sidang dari juru sita sekaligus mengetahui bahwa dirinya telah digugat, bukanlah sebuah hal yang menggembirakan. Oleh karena itu, penting untuk mencermati kembali peran signifikan dari juru sita dalam rangkaian pelaksanaan persidangan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, juru sita diartikan sebagai “pegawai pengadilan yang bertugas menyita barang-barang”.  Pengertian ini tentu tidak sepenuhnya salah karena menyita barang yang akan dieksekusi oleh pengadilan merupakan salah satu fungsi mereka.

Secara historis, juru sita ialah terjemahan dari kata berbahasa Belanda, “Gerechtsdeurwaarder”, yang pada gilirannya berasal dari bahasa Perancis kuno, “Huissier de justice”. Kedua kata tersebut secara harafiah berarti “penjaga pintu pengadilan”. Kala itu di Perancis, dibedakan antara jabatan sergents, yang memiliki tugas sebatas menjalankan putusan hakim, danhuissier yang melakukan hal-hal yang dapat membantu jalannya persidangan (de dients ter terechtzitting).

Seiring berjalannya waktu, kedua fungsi tersebut disatukan dalam fungsi huissier de justice, yang mencakup menjaga keteraturan dalam persidangan, memberitahukan panggilan sidang, dan menjalankan putusan (C.H. van Rhee, Geschiedenis van het Deurwaardersambt, van Nederige Dienaar tot Zelfbewuste Professional, dalam Justitiele Verkeninngen, Wetenschappelijk Onderzoek en Documentatitecentrum, Gouda, 1999, hlm. 20).

Pekerjaan tersebut tidaklah mudah, bahkan cenderung berbahaya. M. Teekens dalam bukunya De Gerechtsdeurwaarder, Serie Recht en Praktijk, Kluwer, Deventer, 1973, hlm. 7, mencatat bahwa: “De deurwaarder is de man, die het rechterlijk vonnis in feite ten uitvoer moet leggen en dit kan nog steeds ernstige menselijke conflicten oproepen, die voor de deurwaarder gevaarlijke gevolgen kunnen hebben”. (Juru sita ialah orang yang secara nyata menjalankan putusan pengadilan, dan hal ini masih menimbulkan konflik perorangan yang serius, yang dapat memberikan akibat yang berbahaya bagi juru sita itu sendiri).

Intimidasi verbal maupun ancaman kekerasan merupakan risiko nyata yang dihadapi mereka, baik dahulu maupun sekarang. Namun demikian, keberadaan profesi ini tidak ayal tetap diperlukan dalam memastikan hak para pihak untuk dipanggil secara layak. Itu sebabnya fungsi juru sita sering dipandang kurang menarik, walaupun sejatinya diperlukan (de deurwaarders hebben een misschien weinig spectaculair, doch wel uitermate belangrijk aandeel gehad).

Tidak heran, petugas pengadilan dengan sebutan Gerechtsdeurwaarder dan Huissier de Justice masih ada hingga saat ini dengan ciri khas tersendiri dalam tatanan hukum di negeri Belanda maupun Perancis. Begitu juga di Indonesia, dengan sebutan juru sita.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait