Menilik Praktik Judicial Harrasment Masa Kolonial, Orde Baru, Hingga Reformasi
Utama

Menilik Praktik Judicial Harrasment Masa Kolonial, Orde Baru, Hingga Reformasi

Judicial harrasment atau serangan dengan menggunakan proses hukum bentuknya beragam, antara lain ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang dan kriminalisasi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi demonstrasi. Foto: RES
Ilustrasi demonstrasi. Foto: RES

Praktik judicial harrasment atau serangan dengan menggunakan proses hukum, ternyata sudah terjadi di Indonesia sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pengajar sekaligus Wakil Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat STH Indonesia Jentera, Asfinawati, mengatakan judicial harrasment bentuknya beragam, seperti ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, serta kriminalisasi.

Ketua YLBHI 2017-2021 itu menjelaskan kriminalisasi merupakan proses persidangan atau instrumen hukum pidana yang digunakan bukan untuk penegakan hukum, tapi tujuan lain. Dia membandingkan beberapa praktik judicial harrasment yang terjadi pada era kolonialisme Hindia Belanda, orde baru, dan reformasi. Pada masa kolonial Hindia Belanda dan orde baru bentuk judicial harrasment meliputi ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang serta kriminalisasi.

“Di era reformasi sampai sekarang judicial harrasment bentuknya makin beragam tak hanya ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang serta kriminalisasi, tapi juga dilaporkan ke polisi, somasi, dan gugatan,” kata Asfin dalam webinar bertema “Put an End to All Judicial Harassment to Protect and Expand Civic Space”, Selasa (21/06/2022) kemarin.

Baca Juga:

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, judicial harrasment menyasar pejuang kemerdekaan, dan orang yang mempertahankan haknya. Masa orde baru korbannya lebih banyak lagi meliputi publik figur, jurnalis, artis, musisi, komedian, pelajar, demonstran, tokoh politik, dan orang-orang yang memperjuangkan haknya seperti kalangan buruh dan petani.

Kelompok yang disasar judicial harrasment pada era reformasi tak banyak berbeda dengan masa orde baru. Asfin melihat di era reformasi sampai sekarang yang disasar yakni komunitas yang memperjuangkan hak-haknya seperti buruh, petani, dan masyarakat hukum adat.

Para pelaku judicial harrasment di masa pemerintahan Hindia Belanda yakni pemerintah dan aparaturnya. Era orde baru aktornya ABRI/TNI dan Polisi. Reformasi sampai saat ini pelakunya meliputi polisi, petugas publik, organisasi massa, dan perusahaan. Alasan yang digunakan untuk kriminalisasi yakni melawan pemerintahan atau hukum Hindia Belanda. Pada masa orde baru alasan yang digunakan sama yakni melawan pemerintah, menghalangi pembangunan, makar, dan komunis.

“Pada masa reformasi alasan yang digunakan antara lain dianggap menyebabkan kerusuhan, menolak pembangunan, menyebar berita bohong atau hoax yang menyebabkan kericuhan, bahkan anarko, dan komunis,” bebernya.

Pola kriminalisasi antara lain menargetkan pimpinan komunitas atau organisasi dengan tujuan menghambat atau menghentikan perjuangan mereka. Pelanggaran terhadap hukum acara pidana, melakukan serangan digital seperti pembunuhan karakter, hate spin, doxing dan lainnya. Selain itu, melakukan intimidasi, menyerang komunitas dan anggota keluarga. Kriminalisasi juga kerap melibatkan korporasi besar dan aparat pemerintahan baik pusat serta daerah.

Hukum yang digunakan dalam praktik judicial harrasment sejak masa Hindia Belanda sampai sekarang juga sama yakni KUHP. Pada masa Hindia Belanda ketentuan KUHP yang sering digunakan terkait makar dan “menghina” pemerintah (haatzaai artikelen), menghina penguasa, berita bohong yang membuat keonaran, dan ikut dalam perkumpulan yang dilarang.

Masa orde baru ketentuan KUHP yang banyak digunakan masih sama seperti era kolonialisme Hindia Belanda yakni makar, menghina pemerintah, menghina penguasa serta menggunakan UU Subversif. Era reformasi yang digunakan tak hanya KUHP, tapi banyak aturan lainnya seperti UU ITE, UU No.1 Tahun 1946, UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan karena banyak menyasar masyarakat dan petani kecil, serta UU Pornografi.

Melihat berbagai macam praktik judicial harrasment itu, Asfin berpendapat Indonesia akan terus menerus mengalami hal tersebut karena KUHAP tidak sesuai dengan mandat kovenan Sipol (ICCPR). Oleh karena itu, masyarakat sipil perlu berkonsolidasi mendorong perubahan kebijakan dalam rangka mencegah terjadinya judicial harassment, misalnya mendesak revisi KUHAP.

Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo G Sembiring, mengatakan instrumen hukum atau pengadilan sering dilakukan untuk menghambat atau membungkam kebebasan berekspresi, berpendapat, termasuk partisipasi masyarakat. Fenomena pelecehan peradilan (judicial harrassment) atau SLAPP itu bukan hal baru, karena selama ini terjadi di banyak negara tak terkecuali di Indonesia.

“Kebebasan berekspresi, berpendapat, dan partisipasi publik malah direspons lewat sarana hukum baik laporan ke polisi dan gugatan,” kata Raynaldo G Sembiring dalam kesempatan yang sama.

Pria yang akrab disapa Dodo ini melihat pengaturan anti SLAPP semakin berkembang. Misalnya, Mahkamah Agung Filipina menerbitkan aturan yang melihat SLAPP bukan hanya aksi atau strategi hukum, tapi segala instrumen hukum yang tujuannya membungkam partisipasi masyarakat. Begitu juga di Amerika Serikat (AS) dimana sebagian ahli berpendapat SLAPP merupakan “virus” dalam demokrasi. Karena demokrasi menjamin kebebasan dan setiap orang untuk bersuara (partisipasi).

Tags:

Berita Terkait