Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pasal 30C huruf h Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 memantik kembali diskursus tentang kewenangan jaksa mengajukan Peninjauan Kembali. Dengan putusan tersebut, pasal 30C huruf h beserta penjelasannya dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak berlaku lagi.
Peninjauan Kembali (PK) adalah bagian tak terpisahkan dari proses beracara di Indonesia. Upaya hukum ini dikenal bukan saja di lingkungan pidana dan perdata, tetapi juga lingkungan Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sejak lama, upaya hukum PK mendapatkan perhatian luas dari para akademisi dan praktisi.
Pada tataran akademis, terbilang cukup banyak buku khusus yang ditulis mengenai PK (misalnya Hadari Djenawi Tahir, 1982 dan 1983; Soedirjo, 1986; dan Herri Swantoro, 2017), atau minimal menjadi bab tersendiri dalam buku teks hukum acara (misalnya Djoko Prakoso, Andi Hamzah, dan M. Yahya Harahap). Pada tataran praktis, PK sangat sering dipergunakan pencari keadilan meskipun hakikatnya PK merupakan upaya hukum luar biasa.
Baca juga:
- Potret Implementasi Upaya PK oleh Kejaksaan yang Inkonstitusional
- Notaris Persoalkan Kewenangan Jaksa Boleh Ajukan PK
- Begini Syarat Jaksa Boleh Ajukan PK
Pembentuk UU No. 11 Tahun 2021, misalnya, berpandangan bahwa PK oleh Kejaksaan merupakan bentuk tugas dan tanggung jawab Kejaksaan mewakili negara dalam melindungi kepentingan keadilan bagi korban, termasuk bagi negara, dengan menempatkan kewenangan jaksa secara proporsional pada kedudukan yang sama dan seimbang dengan hak terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK.
Sebagai upaya hukum yang luar biasa, maka seharusnya ada syarat dan saringan ketat untuk menerima PK. Sejak diperkenalkan lewat konsep herziening dalam Reglement op de Strafvordering (Sv, 1847), pengaturan PK telah mengalami dinamika baik melalui peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan yang diterbitkan Mahkamah Agung, maupun dalam praktik. Buku-buku teks yang ditulis selama ini telah merekam sebagian dari dinamika pengaturan dan penerapan PK di Indonesia.
Buku terbaru yang hadir ke hadapan pembaca ini, “Peninjauan Kembali, Koreksi Kesalahan dalam Putusan” terbilang sebagai karya yang sangat komprehensif membahas konsep dan praktik PK di Indonesia. Ditulis oleh Binziad Kadafi, kini anggota Komisi Yudisial Republik Indonesia, buku ini menggali dan menganalisis secara kritis upaya hukum PK, baik dari sudut pandang mereka yang mendukung maupun yang menolaknya.