Selain melakukan penyusunan peraturan, pemerintah juga tengah menyiapkan infrastuktur, bentuk dan distribusi dari meterai elektronik. Sehingga pengenaan bea meterai elektronik belum bisa dilakukan pada 1 Januari 2021 mendatang.
“Tanggal 1 Januari belum akan diberlakukan (meterai elektronik), sedangkan pengenaan bea materai dengan dokumen elektronik akan mempertimbangkan batas kewajaran nilainya, pemerintah akan mempertimbangkan batas kewajaran yang tercantum dalam dokumen, memperhatikan kemampuan masyarakat. Dan aturan akan disampaikan kepada stakeholder sehingga bisa membangun minat ke investasi dan surat berharga serta pasar saham,” tegasnya.
Direktur P2 Humas DJP, Hestu Yoga Saksama, menyampaikan bahwa saat ini DJP tengah menyusun peraturan pelaksanaan atas UU Bea Meterai yang baru (UU Nomor 10 Tahun 2020). Yoga menegaskan bahwa pengenaan Bea Meterai akan dilakukan terhadap dokumen dengan mempertimbangkan batasan kewajaran nilai yang tercantum dalam dokumen dan memperhatikan kemampuan masyarakat.
Disamping itu, dalam rangka mendorong atau melaksanakan program pemerintah dan/atau kebijakan lembaga yang berwenang di bidang moneter atau jasa keuangan, dapat diberikan fasilitas pembebasan Bea Meterai.
“Dan saat ini DJP sedang berkoordinasi dengan otoritas moneter dan pelaku usaha untuk merumuskan kebijakan tersebut,” ujarnya.
Sementara itu pengamat pajak, Fajry Akbar mengatakan bahwa isu terkait bea meterai yang paling berhembus kencang adalah isu retail investor. Para retail investor menganggap hal ini membatasi mereka untuk masuk ke pasar modal. “Kalau kita lihat struktur investor pasar modal di Indonesia, memang kini telah didominasi investor ritel,” jelasnya.
Menurutnya, nilai rata-rata transaksi dari investor retail perharinya sekitaran Rp12 juta. Jadi yang dikenakan per-trade confirmation (transaksi per hari) bukan per-transaksi. Dia menilai ada miskomunikasi ke-dua yang terjadi. “Kalau nilai transaksi sebesar Rp12 juta, harusnya biaya bea materai Rp10.000 tak menjadi masalah,” tambahnya.
Namun dibalik isu ini, Fajru berpendapat pemerintah agak lambat dalam melakukan koordinasi dengan pihak yang berkepentingan, seperti bursa efek indonesia dan para perusahaan sekuritas. “Harusnya, jika koordinasi dilakukan di depan, lalu ada sosialisasi oleh seetiap pemangku kepentingan maka tidak akan miskomunikasi di publik. Jadi tidak ada pro kontra lagi,” pungkasnya.