Menkopolhukam: Kasus Pelanggaran HAM Berat Harus Diadili, Tidak Bisa Dihapus
Utama

Menkopolhukam: Kasus Pelanggaran HAM Berat Harus Diadili, Tidak Bisa Dihapus

Mahfud mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi terhadap asumsi yang menyebut tim PPHAM ini akan menghapus mekanisme yudisial dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

“Tidak ada upaya pemerintah untuk menutup mekanisme yudisial dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kasus pelanggaran HAM berat tidak ada daluarsa dan harus dibawa ke pengadilan,” imbuh Mahfud.

Sebelumnya, Wakil Ketua Tim Pelaksana Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Ifdhal Kasim, mengatakan Keppres No.17 Tahun 2022 berisi sedikitnya 3 mandat utama yakni pengungkapan, pemulihan korban, dan pencegahan.

Menurut Ifdhal Kasim, pengungkapan yang dimaksud Keppres bukan investigasi dalam rangka penegakan hukum. Tapi mengungkapkan peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi, misalnya bagaimana terjadinya, latar belakang, dan mengidentifikasi dampak peristiwa itu terhadap korban. “Ini hal utama dalam pengungkapan yang dimaksud Keppres. Paling penting mengidentifikasi dampaknya peristiwa itu bagi korban,” kata dia.

Pemulihan yang dimaksud Keppres yakni ditujukan bagi korban dan keluarganya. Bahkan Ifdhal mengingatkan jika mengacu instrumen HAM internasional pemulihan itu juga termasuk orang dekat korban. Terakhir, pencegahan, yang diharapkan agar peristiwa pelanggaran HAM berat serupa tidak terjadi lagi di masa depan.

Bagaimana kerja yang akan dilakukan tim? Ifdhal menjelaskan terkait proses pengungkapan akan dilakukan upaya memenuhi hak korban untuk mengetahui kebenaran atas terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat yang dialami. Tim akan menggelar kegiatan dalam bentuk dengar pendapat publik yang melibatkan komunitas korban dan pendampingnya. Serta mengkaji dokumen yang relevan termasuk dokumen resmi dari lembaga negara, seperti Komnas HAM, LPSK, militer dan lainnya.

Dalam kegiatan dengar pendapat publik itu nanti tim juga akan meminta pendapat korban tentang apa harapan dan keinginan mereka terkait pemulihan. Bisa saja mereka mengharapkan ada pemulihan nama baik, reparasi, beasiswa dan lainnya. Mengenai pencegahan bentuknya nanti rekomendasi perbaikan terhadap para pihak terkait misalnya terhadap sistem pendidikan di TNI dan Polri. Pembenahan kelembagaan dan lainnya karena ini akan terkait dari temuan dalam pengungkapan kasus.

“Karena dalam menulis laporan yang dibuat akan diperoleh polanya dan institusi mana yang berperan dalam kasus ini dan itu yang jadi sasaran rekomendasi. Nanti laporan akhir, berisi rekomendasi spesifik,” ujar Ketua Komnas HAM periode 2007-2012 itu.

Ifdhal mengatakan ada 11 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang akan diungkap dan dipulihkan melalui tim. Meliputi peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985), Tragedi Talangsari (1989), Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989), Tragedi 1965 (1966-1975), Penghilangan Orang Secara Paksa (1997-1998), Mei Berdarah (1998), Trisakti-Semanggi I dan II (1998-1999), Pembantaian Dukun Santet (1998-1999), Penembakan Simpang KKA (1999), Penembakan Wasior dan Wamena (2001-2002), dan Penembakan Paniai (2014).

Tags:

Berita Terkait