Menkopolhukam: Omnibus Law Butuh Revisi UU Pembentukan Peraturan
Berita

Menkopolhukam: Omnibus Law Butuh Revisi UU Pembentukan Peraturan

Menurut PSHK, seharusnya penerapan omnibus law dijadikan salah satu metode membenahi ribuan regulasi yang saling tumpang tindih (hiper regulasi) di tingkat pusat dan daerah. Sebelumnya, PSHK juga mengusulkan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara total.

Oleh:
Agus Sahbani/ANT
Bacaan 2 Menit

 

"Mengapa tidak juga dipercepat, karena antara satu aturan dengan lainnya berbeda. kalau sudah selesai di Bea Cukai misalnya, ternyata belum selesai di pajak, di pajak, nanti izinnya lagi di perhubungan. Mengatur hal yang sama dengan cara berbeda," tegasnya.

 

Mahfud menambahkan selain persoalan substansi, yang harus dibenahi mengenai aparat penegak hukum dan budaya hukum masyarakatnya.

 

Pandangan sempit

Sebelumnya, Peneliti senior Pusat Studi Hukum Kebijakan Indonesia (PSHK) Indonesia Muhammad Nur Sholikin menilai pembentukan omnibus law yang hanya diarahkan peningkatan investasi dinilai sebagai pandangan sempit. Seharusnya, penerapan omnibus law dijadikan sebagai salah satu metode membenahi ribuan regulasi yang saling tumpang tindih (hiper regulasi) di tingkat pusat dan daerah.

 

“Kami mendorong dalam penataan peraturan perundang-undangan tidak terjebak pada peningkatan investasi, tapi omnibus law ini bisa jadi ‘resep baru’ dalam penataan regulasi. Kami berharap Baleg melihat dengan pendekatan itu,” usul Sholikin dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi, Senin (4/11/2019) lalu.

 

Sholikin melansir hasil penelitian PSHK terkait penataan regulasi yang menunjukkan kurun waktu Oktober 2014 s.d. Oktober 2018 ada total 8.945 regulasi yang dibentuk di tingkat nasional meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri. Apabila dirata-rata, 6 regulasi lahir setiap hari di Indonesia. Sektor ini dinilai menjadi catatan merah rapor bidang legislasi Presiden Jokowi di periode 2014–2019.

 

“Karena itu, omnibus law memang cocok diterapkan di negara yang hiper regulasinya saling tumpang tindih, ‘gemuk’, seperti Indonesia. Omnibus law ini semestinya diarahkan pada pembenahan regulasi yang lebih luas, tak melulu hanya demi peningkatan investasi sebagaimana seringkali didengungkan Presiden,” kritiknya. Baca Juga: Omnibus Law Semestinya Bisa Merambah Sektor Lain

 

Dia mengutip kajian Bappenas Tahun 2018 yang menyebutkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia terhambat akibat dua faktor. Regulasi yang tumpang tindih dan ego sektoral kementerian/lembaga. Karena itu, penerapan omnibus law tanpa pembenahan ego sektoral di kementerian/lembaga, dimungkinkan tidak akan berhasil sebagaimana harapan Presiden.

Tags:

Berita Terkait