Menurut Aturan Terbaru, Pungutan Ekspor CPO Dievaluasi Setiap Bulan
Berita

Menurut Aturan Terbaru, Pungutan Ekspor CPO Dievaluasi Setiap Bulan

Ada cacatan kritis petani kelapa sawit.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Kebun Sawit (Ilustrasi). Foto: www.bumn.go.id
Kebun Sawit (Ilustrasi). Foto: www.bumn.go.id

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, 4 Desember lalu, telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan No. 152 Tahun 2018 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan. Inilah aturan terbaru yang mengatur salah satu pungutan pada usaha perkebunan kelapa sawit. Beleid ini dikeluarkan setelah Menteri Keuangan sendiri mengusulkan perubahan tarif.

 

Salah satu poin penting dalam PMK terbaru ini adalah evaluasi. Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral diharuskan melakukan evaluasi setiap bulan terhadap pelaksanaan pengenaan tarif pungutan. Hasil evaluasi ini menjadi dasar untuk mengusulkan perubahan tarif layanan kepada Menteri Keuangan sesuai peraturan perundang-undangan.

 

Oh ya, berdasarkan aturan terbaru ini, tarif pungutan ditetapkan berdasarkan batasan lapisan nilai harga crude palm oil (CPO). Harga CPO-nya mengacu pada harga referensi yang ditetapkan Menteri Perdagangan.

 

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengapresiasi terbitnya pungutan ekspor minyak sawit mentah yang dituangkan dalam PMK No. 152 Tahun 2018. Pemerintah menetapkan jika harga minyak wasit mentah kurang dari 570 dolar Amerika Serikat (AS$) per ton maka tidak akan dikenakan pungutan tarif. Sebaliknya, jika harga minyak sawit mentah berkisar antara AS$570 hingga AS$619 per ton, akan dikenakan kutipan sebesar AS$25 dan jika harga minyak sawit mentah di atas AS$619, akan dikenakan pungutan sebesar AS$50 per ton.

 

(Baca juga: 7 Perjanjian Perdagangan Internasional ini akan Diratifikasi Indonesia)

 

Meskipun mengapresiasi, Sekretaris Jenderal SPKS, Mansuetus Darto menduga PMK tidak disertai hasil studi yang matang mengenai dampak pungutan terhadap anjloknya harga sawit di tingkatan petani. SPKS curiga ada industri biodiesel yang tengah ‘bermain’ di balik keluarnya PMK No. 152 Tahun 2018. “Mereka sudah keasyikan mendapatkan subsidi dari sektor hulu perkebunan,” papar Darto lewat keterangan tertulisnya kepada hukumonline, Jumat (5/12).

 

Darto menilai PMK No. 152 Tahun 2018 masih mencantumkan nilai kutipan yang sangat besar sehingga  berdampak pada rendahnya harga tandan buah segar (TBS) di masa mendatang. Sementara itu, porsi distribusi dan pemanfaatan dana pungutan untuk petani sawit tidak seimbang dengan kontribusi, dan dampaknya pasti dirasakan petani sawit. Alokasi untuk subsidi biodiesel jauh lebih besar dibandingkan dengan alokasi penanaman ulang (replanting) dan peningkatan kapasaitas sumber daya manusia perkebunan. Setelah melakukan simulasi, SPKS menemukan bahwa jika kutipan sebesar  AS$50 per ton diterapkan, pendapatan petani mengalami penurunan sebesar Rp124 per kilogram dengan asumsi harga minyak sawit mentah internasional AS$480 per ton.

 

SPKS setuju adanya potongan minyak sawit mentah ‘hanya’ sebesar AS$10 per ton. Itu pun dengan catatan: dana tersebut dikelola oleh Badan Layanan Umum yang bernaung di bawah Kementerian Pertanian. Menurut Darto, lambatnya program untuk petani selama ini akibat salah urus oleh BPDP-KS yang bernaung di bawah Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan tidak terlalu paham masalah sawit (dibandingkan Kementerian Pertanian), dan lebih memperhatikan industri biodiesel. “Makanya, realisasi program untuk petani hanya 3 persen dan sisanya adalah untuk biodiesel,” terangnya.

Tags:

Berita Terkait