Menyoal Aspek Hak Cipta atas Karya Hasil Artificial Intelligence
Kolom

Menyoal Aspek Hak Cipta atas Karya Hasil Artificial Intelligence

Apabila AI menghasilkan suatu karya, menurut UU Hak Cipta karya tersebut tidak tergolong sebagai ciptaan yang dapat dilindungi dan AI pun tidak tergolong sebagai pencipta.

Michael Hans dan Cynthia Prastika Limantara. Foto: Istimewa
Michael Hans dan Cynthia Prastika Limantara. Foto: Istimewa

Perkembangan zaman membuat teknologi juga semakin berkembang dan berinovasi dengan pesat. Salah satu bentuk perkembangan teknologi yang dapat kita lihat adalah hadirnya Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang pada dasarnya merupakan simulasi dari kecerdasan yang dimiliki oleh manusia yang dimodelkan di dalam mesin dan diprogram agar bisa berpikir seperti manusia. Dengan kata lain, AI merupakan sistem komputer yang dapat melakukan pekerjaan yang pada umumnya memerlukan tenaga manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kecerdasan buatan diartikan sebagai program komputer dalam meniru kecerdasan manusia, seperti mengambil keputusan, menyediakan dasar penalaran, dan karakteristik manusia lainnya.

AI menuai sejarahnya dari gagasan yang sebenarnya sudah berjalan selama berabad-abad. Berbagai filsuf telah menggagaskan kemungkinan adanya mesin pintar revolusioner, yang mampu mengubah definisi tentang apa artinya menjadi manusia (Bruce G. Buchanan, “A (Very) Brief History of Artificial Intelligence”, AI Magazine). Gottfried Wilhelm Leibniz contohnya, mendefinisikan teknologi kecerdasan buatan seperti mesin yang memiliki kemampuan menalar menggunakan logika untuk menyelesaikan masalah. Namun, prototipe awal dari AI itu sendiri baru dapat direalisasikan pada setengah abad terakhir.

AI pada dasarnya merupakan suatu sistem buatan manusia yang tidak memiliki daya pikir alamiah layaknya manusia. Untuk menjalankan perintah atau melakukan sesuatu AI bergantung pada seperangkat algoritma dan parameter yang dibuat terlebih dahulu oleh programmer lalu kemudian AI akan mengkompilasi karya-karya terdahulu menggunakan algoritma untuk memodifikasi karya tersebut. Sehingga, karya yang diciptakan AI sebenarnya bukanlah sebuah proses kreatif yang baru melainkan abstraksi dari karya-karya terdahulu (Andres Guadamuz, “Do Androids Dream of Electric Copyright? Comparative Analysis of Originality in Artificial Intelligence Generated Works”, Intellectual Property Quarterly, Vol. 2, 2017).

Baca juga:

Namun di samping perkembangan teknologi yang dimaksudkan untuk mempermudah hidup manusia, perkembangan teknologi ternyata juga melahirkan kompleksitas, terutama apabila bersinggungan dengan hukumnya. Sebagaimana yang belakangan ini ramai diperbincangkan oleh publik, yaitu terkait hak cipta dari karya yang dibuat dengan AI atau kecerdasan buatan. Adanya AI menjadi suatu testamen bahwa manusia kini dapat menciptakan sesuatu yang menyerupai pemikiran dari manusia itu sendiri dan hal ini akan semakin mutakhir seiring berjalannya waktu. Selain itu, dengan adanya AI, manusia tidak perlu mempunyai keahlian tertentu untuk menghasilkan suatu karya dikarenakan sistem AI dapat secara langsung menyajikan suatu karya baik karya yang berbentuk tulisan, gambar maupun musik hanya dengan mengubah suatu tulisan (perintah) yang diberikan oleh manusia.

Eksistensi AI pun dapat dilihat dengan jelas dari aplikasi yang sedang ramai digunakan saat ini, salah satunya adalah ChatGPT. ChatGPT sendiri merupakan terobosan dari OpenAI yang merupakan program memungkinkan penggunanya untuk bercakap dengan kecerdasan buatan dengan format chat. Dilansir dari website OpenAI, ChatGPT mampu menjawab pertanyaan, mengakui kesalahannya, menantang premis yang salah, dan menolak permintaan yang kurang pantas.

ChatGPT sendiri diprogram untuk dapat memberikan respon yang bervariasi. Bahkan, pengguna dapat meminta ChatGPT untuk membuat karya tulis berupa cerpen, pantun, atau bahkan artikel dan slogan untuk kepentingan komersial. Hal inilah yang menimbulkan berbagai polemik terhadap karya-karya yang dibuat dengan AI. Namun sebenarnya, apakah karya yang dibuat dengan AI dapat dilindungi hak cipta? Jika iya, siapakah pemiliknya?

Konsep Hak Cipta: Apakah AI Bisa Menjadi Pencipta?

Hak Cipta adalah bagian dari kekayaan intelektual pada dasarnya hanya dapat melindungi produk dari intelek manusia. Hal ini tercermin dalam definisi dari Intellectual Property itu sendiri.

Menurut Black’s Law Dictionary, kekayaan intelektual merupakan “A category of intangible rights protecting commercially valuable products of the human intellect” atau seperangkat hak yang melindungi produk dari intelek manusia. Sementara itu, the World Intellectual Property Organization (WIPO) mendefinisikan kekayaan intelektual sebagai “creations of the mind.” Sehingga, esensi dari kekayaan intelektual itu sendiri merupakan produk yang merupakan hasil olah pikir manusia; bukan hewan, mesin, atau lain sebagainya.

Di Indonesia sendiri, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) mendefinisikan Kekayaan Intelektual sebagai “Hak yang timbul dari hasil olah pikir yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada intinya kekayaan intelektual adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual.” Sehingga, dapat disimpulkan bahwa salah satu syarat utama agar suatu ciptaan dapat dikategorikan sebagai Kekayaan Intelektual adalah ciptaan tersebut harus merupakan buatan manusia.

Bukan hanya hukum hak cipta di Indonesia, nyatanya perdebatan mengenai apakah ciptaan yang bukan diciptakan manusia dapat dilindungi hak cipta telah terjadi sebelumnya. Dalam kasus Naruto v. Slater (2018) yang terjadi di Amerika Serikat, terjadi diskursus mengenai apakah sebuah swafoto atau selfie yang diambil oleh seekor kera dapat dilindungi hak cipta.

Seorang fotografer alam bernama David Slater meninggalkan perlengkapan kameranya di alam terbuka yang kemudian kamera tersebut diambil oleh seekor kera yang diberi nama “Naruto”. Kera tersebut mengambil kamera David dan memencet tombol shutter sehingga mengambil gambar atas wajahnya sendiri. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim berpendapat bahwa hewan tidak memiliki kedudukan hukum untuk menuntut hak-haknya dalam hak cipta. Berdasarkan putusan tersebut, maka jelas bahwa karya yang diciptakan oleh individu yang bukan manusia tidak mempunyai hak cipta.

Apakah Karya AI Tergolong sebagai Ciptaan?

Dalam teori Hak Cipta, diperlukan dua syarat agar suatu ciptaan dapat dikategorikan sebagai ciptaan, yakni orisinalitas dan fiksasi. Negara yang menganut civil law system seperti Indonesia sendiri menekankan aspek personalitas penciptanya dalam karya yang dimaksud (Paul Goldstein, International Copyright: Principles, Law, and Practice, New York: Oxford University Press, 2001).

Orisinalitas (originality) tidak sama seperti kebaruan (novelty), bahkan dua pencipta dapat mengambil inspirasi dari dua hal yang sama dan keduanya dapat dilindungi hak cipta dengan syarat bahwa kedua pencipta tersebut tidak meniru satu sama lain. Hal ini berakar dari pemahaman rasional bahwa dua orang tidak dapat menciptakan sesuatu yang benar-benar sama dan masing-masing pasti memiliki personalitas yang tercermin dalam karya masing-masing.

Syarat orisinalitas ini juga tercermin pada definisi ‘Pencipta’ pada Pasal 1 angka 2 Undang-undang Hak Cipta yang berarti: “seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu Ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Personalitas atau kepribadian ini mengacu pada fakta bahwa agar diakui sebagai suatu Ciptaan, maka Penciptanya harus mampu memiliki personalitas, dimana hal ini hanya dapat dimiliki oleh manusia. Berangkat dari definisi tersebut, karya yang diciptakan oleh AI tidak memenuhi konsep orisinalitas karena selain tidak dibuat oleh manusia, karya AI adalah kombinasi dari karya-karya terdahulu yang dimodifikasi oleh mesin sehingga karya tersebut tidak mencerminkan ciri khas serta pribadi dari penciptanya.

Syarat selanjutnya adalah fiksasi atau perwujudan. Karya yang dilindungi hak cipta harus difiksasikan dalam sebuah medium. Hak cipta tidak melindungi ide-ide melainkan ekspresi dari ide-ide tersebut yang terwujud secara nyata pada medium yang stabil (Stephen M. McJohn, Intellectual Property (Sixth Edition), New York: Wolters Kluwer, 2019). Karya AI memenuhi syarat ini karena karya-karya seperti gambar, lagu, dan lain sebagainya merupakan medium yang stabil dan merupakan ekspresi atas ide-ide tertentu. Namun, perlu diingat bahwa kedua syarat tersebut bersifat kumulatif, sehingga oleh karena karya yang dihasilkan dengan AI tidak memenuhi syarat orisinalitas, maka karya AI tidak dapat dikategorikan sebagai ciptaan yang dapat dilindungi hak cipta.

Hak cipta pada dasarnya adalah hak-hak eksklusif yang dimiliki pencipta yang dalam regulasi Hak cipta di Indonesia, hak cipta terbagi menjadi hak moral dan hak ekonomi. Sehingga, secara a contrario, apabila suatu karya tidak digolongkan sebagai suatu ciptaan, maka karya tersebut tidak memiliki hak-hak istimewa sehingga bisa digunakan semua orang dan sifatnya public domain. Walaupun sifatnya tergolong public domain, pengguna harus tetap memperhatikan syarat dan ketentuan yang berlaku pada platform di mana kita memperoleh karya yang dihasilkan oleh AI dikarenakan saat pengguna menggunakan platform tersebut, biasanya akan ada syarat dan ketentuan yang harus disepakati sehingga pengguna terikat hubungan kontraktual dengan pengembang dan/atau pengelola platform.

Contohnya seperti syarat dan ketentuan yang diatur pada Deep Dream Generator, sebagai berikut: “It is permissible to utilize the resulting images for commercial purposes solely if said images were generated while the user was in possession of an active paid subscription plan or upon the acquisition and utilization of a paid energy pack for said image creation.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku saat ini belum dapat mengakomodir hak cipta dari karya-karya yang dihasilkan dengan AI. Namun, apakah hal ini perlu diatur pada peraturan perundang-undangan terkait hak cipta? Perlu diingat bahwa konsepsi hak cipta berakar dari fakta bahwa diperlukan penghargaan bagi pencipta agar pencipta dapat memperoleh keuntungan dari jerih payahnya yang berguna untuk masyarakat. Mengingat kedua dimensi hak cipta yakni hak moral dan hak ekonomi, penulis rasa hal ini tidak urgen dikarenakan sebuah AI tidak memerlukan hal-hal diatas untuk melangsungkan hidupnya.

Sehingga untuk saat ini, apabila AI menghasilkan suatu karya, menurut UU Hak Cipta karya tersebut tidak tergolong sebagai ciptaan yang dapat dilindungi dan AI pun tidak tergolong sebagai pencipta. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa pengguna tetap terikat dalam hubungan kontraktual dengan pengelola platform sehingga dimungkinkan adanya pembatasan hak untuk menggunakan karya-karya yang dihasilkan oleh AI serta dimungkinkan pula ada kewajiban yang wajib dipenuhi oleh pengguna kepada pengelola platform.

*) Dr. Michael Hans, S.H., S.E., M.Kn., LL.M., CLA, CCD & Cynthia Prastika Limantara, S.H., keduanya adalah advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait