Pengaturan pidana mati tidak lagi menjadi pidana pokok, tapi menjadi pidana khusus sebagaimana diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Politik hukum negara dalam pengaturan pidana mati itu menjadi jalan tengah akibat adanya dua mahzab yang saling pro dan kontra (polemik) memandang pidana mati. Lantas bagaimana penerapan pidana mati yang diatur dalam RKUHP bila disetujui menjadi UU nantinya?
Peneliti Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari berpandangan komitmen pemerintah dalam memberi jalan tengah yang bersifat ‘Indonesian Way’ bagi kelompok pro dan kontra dengan menjadikan pidana mati tidak lagi menjadi pidana pokok, tapi menjadikan pidana mati sebagai pidana khusus. Nantinya, ancaman penjatuhan pidana mati secara alternatif.
“Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir dalam mencegah terjadinya tindak pidana lain,” ujar Iftitah Sari dalam webinar bertajuk “Pembaharuan Politik Hukuman Mati Melalui RKUHP”, Selasa (24/5/2022).
Dia berpandangan mekanisme komutasi/perubahan bentuk hukuman dari pidana mati bisa dikonversi menjadi pidana jenis lainnya seperti pidana seumur hidup atau pidana 20 tahun penjara dengan syarat melewati masa tunggu selama 10 tahun. Masa satu dasawarsa itu sebagai masa percobaan atau tunggu menjalani masa pembinaan terkait ada atau tidaknya perubahan perilaku.
Baca Juga:
- Anggota DPR Ini Minta Pemerintah Revisi Draf RUU KUHP 2019
- Aturan Hukum LGBT di Indonesia, Bisa Dipidana?
- Pesta Gay, Jerat Hukum Pencabulan Sesama Jenis
Draf RKUHP versi 2019
Pasal 100
(1) Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika: a. terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau c. ada alasan yang meringankan.
(2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.