Menyoal Keabsahan Tanda Tangan Elektronik Pada Penyusunan Perundang-Undangan
Utama

Menyoal Keabsahan Tanda Tangan Elektronik Pada Penyusunan Perundang-Undangan

Digitalisasi tanda tangan/paraf pada penyusunan perundang-undangan harus dilakukan dengan hati-hati terutama untuk dokumen dan produk yang dicetak menggunakan kop presiden.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Webinar yang diselenggarakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bertema Optimalisasi Teknologi Informasi dalam Penyusunan Regulasi Menuju Kemenkeu Government 4.0, Selasa (9/11).
Webinar yang diselenggarakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bertema Optimalisasi Teknologi Informasi dalam Penyusunan Regulasi Menuju Kemenkeu Government 4.0, Selasa (9/11).

Teknologi digital pada dasarnya menyajikan sebuah sistem simplifikasi yang memudahkan aktivitas atau kegiatan masyarakat sehari-hari. Pasar digital, keuangan digital, dan kontrak elektronik, merupakan beberapa produk teknologi yang saat ini dinikmati oleh sebagian besar masyarakat dunia. Tak hanya itu, guna efisiensi dan efektifitas dari sebuah kegiatan kini tersedia pula tanda tangan elektronik/paraf elektronik (digital signature).

Keberadaan tanda tangan elektronik/paraf elektronik ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam pasal 1 ayat 5-12 UU ITE mengatur pemakaian informasi, dokumen, serta tanda tangan elektronik. Adapun definisi tanda tangan elektronik adalah: “Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.”

Sejauh ini, tanda tangan elektronik/paraf elektronik sudah mulai digunakan oleh masyarakat untuk beberapa kegiatan daring semisal kontrak elektronik. Namun bagaimana jika tanda tangan elektronik/paraf elektronik digunakan untuk proses penyusunan regulasi? Bagaimana keabsahannya?

Menurut Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Utama Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Agus Hariadi, digitalisasi menjadi suatu hal yang tidak dapat dielakkan, termasuk di Kemenkumham sendiri. Saat ini, Agus mengaku jika lingkungan Kemenkumham sudah banyak mengadopsi sistem digital, salah satunya E-Status yang diatur dalam Permenkumham No.22 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) No.30 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Menteri di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. (Baca Juga: Tanda Tangan Elektronik: Keabsahan dan Pembuktiannya di Hadapan Pengadilan)

Namun demikian, persoalan tanda tangan elektronik/paraf elektronik belum dapat digunakan untuk kepentingan penyusunan perundang-undangan. Meski penggunaan tanda tangan elektronik/paraf elektronik sudah diatur dalam beberapa regulasi diantaranya UU ITE dan Perpres No.95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), namun hal tersebut belum diatur dalam UU No.11 Tahun 2021 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan selaku payung hukum dalam proses penyusunan sebuah regulasi.

“Soal keabsahan kita memang sudah memiliki beberapa pengaturan seperti UU ITE bahkan ada Perpres 95/2018, jadi sudah tidak diragukan lagi. Tapi memang penggunaannya di penyusunan perundang-undangan harus hati-hati karena aturannya masih yang lama,” kata Agus dalam Webinar yang diselenggarakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) “Optimalisasi Teknologi Informasi dalam Penyusunan Regulasi Menuju Kemenkeu Government 4.0”, Selasa (9/11).

Hal tersebut diamini oleh Asisten Deputi Perekonomian, Kedeputian Bidang Hukum dan Perundang-Undangan, Kementerian Sekretariat Negara, Hayu Sihwati Lestari. Menurutnya, digitalisasi tanda tangan/paraf pada penyusunan perundang-undangan harus dilakukan dengan hati-hati terutama untuk dokumen dan produk yang dicetak menggunakan kop presiden. Jika tak mengikuti aturan yang berlaku, produk undang-undang dapat diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran adanya cacat formil.

Tags:

Berita Terkait