Menyoal Keabsahan Tanda Tangan Elektronik Pada Penyusunan Perundang-Undangan
Utama

Menyoal Keabsahan Tanda Tangan Elektronik Pada Penyusunan Perundang-Undangan

Digitalisasi tanda tangan/paraf pada penyusunan perundang-undangan harus dilakukan dengan hati-hati terutama untuk dokumen dan produk yang dicetak menggunakan kop presiden.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

“Memang ada beberapa aturan perundang-undangan yang bisa menjadi dasar hukum untuk melakukan digitalisasi hukum dalam proses penyusunan perundang-undangan secara elektronik termasuk paraf elektronik. Tapi ini perlu hati-hati, ketika itu akan dilakukan di sebuah produk terumata untuk dicetak di kop presiden yang menjadi naskah asli dari PUU tersebut. Naskah asli tersebut yang akan dibawa pada saat uji materi di MK. Kita harus tetap menjaga persyaratan formil dari penyusunan RUU tersebut walaupun tidak berharap  akan dibawa ke MK, tapi kop presiden tetap harus kita jaga,” katanya pada acara yang sama.

Hayu meyakini bahwa keabsahan tanda tangan elektronik dijamin oleh UU ITE dan Perpres 95/2018, di sisi lain UU ITE mencoba memberikan pengecualian penggunaan tanda tangan elektronik tersebut. Sehingga perlu dipertegas apakah dokumen negara yang memiliki kop presiden bisa dikecualikan.

“Ini harus hati-hati, supaya jika ada sesuatu di kemudian hari keabsahannya masih bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.

Revisi UU 12/2011

Deputi Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Sekretariat Kabinet Purnomo Sucipto menyampaikan bahwa rencana untuk melakukan revisi terhadap UU 12/2011 sudah digaungkan sejak lama. Bahkan revisi sempat dilakukan dan melahirkan UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sayangnya, UU 15/2015 masih banyak memiliki kekurangan dan hanya sedikit mengadopsi tentang badan perundang-undangan, fungsi peninjauan dan pemantauan DPR, serta pengaturan mengenai lungsuran pembahasan RUU.

Dengan berbagai kekurangannya, UU 12/2011 layak untuk dilakukan revisi. Namun Purnomo menilai revisi dilakukan tidak semata-mata hanya untuk mengadopsi kemungkinan penyusunan peraturan secara digital. Persoalan digitalisasi hukum hanya bagian selipan yang layak dimasukkan dalam revisi UU 12/2011.

“Apakah ada rencana revisi UU 12/2011? Upaya itu sudah ada sejak lama tapi yang keluar justru UU 15/2019. Dimungkinkan untuk merubah tapi menurut saya tidak Cuma dimaksudkan untuk mengadopsi kemungkinan pembuatan aturan secara digital, tapi ini selipan bukan urgensi dari tujuan perubahan. Tapi ini belum ada di Prolegnas untuk merevisi UU 11/2012,” jelas Purnomo.

Sementara itu, Agus menambahkan bahwa Kemenkumham secara internal sering mengadakan kajian dan mengundang beberapa pakar serta mantan pejabat direktorat Kemenkumham dan juga BPHN untuk membahas revisi UU 11/2012. Kajian tersebut dilakukan lantaran banyaknya kelemahan dalam UU 11/2012, termasuk pembahasan untuk mengakomodir adanya kepentingan mendesak dan sarana teknologi.

“Kita sebetulnya di internal Kemkumham berkali-kali melakukan kajian mengundang beberapa pakar mapun secara internal untuk melakukan kajian-kajian terhadap UU P3. Kita terus mengkaji karena masih tedapat beberapa kelemahan tapi karena kondisi situasinya ada perubahan-perubahan yang tepat sehingga justru yang keluar perubahan UU 15/2019 yang isinya sudah disampakan oleh Pak Purnomo. Kita justru mengeluarkan UU yang sebetulnya diluar kajian-kajian kami. Jadi memang di kajian kami sudah diamati termasuk penggunaan sarana teknologi,” tandasnya. 

Tags:

Berita Terkait