Dalam menjalankan profesinya, advokat seringkali dihadapkan dengan adanya larangan mendampingi kliennya yang berkedudukan sebagai saksi pada setiap tingkat pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan, terlebih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pangkal persoalannya, Pasal 54 KUHAP tidak mengatur kata ”saksi” untuk mendapatkan bantuan hukum dan terbatas hanya mengatur bantuan hukum terbatas kepada tersangka dan terdakwa.
Hal itulah yang mendasari Ketua DPC Peradi Jaksel Octolin Hutagalung mengajukan permohonan judicial review Pasal 54 KUHAP ke Mahkamah Konsitusi (MK) dengan menunjuk sejumlah advokat tergabung dalam PBH Peradi Jakarta Selatan sebagai kuasanya mendaftarkan permohonan ini pada Senin 25 April 2022.
“Tidak adanya kata ‘saksi’ dalam Pasal 54 KUHAP merugikan konstitusional seorang saksi itu sendiri dan tidak ada kepastian hukum bagi saksi yang tidak boleh didampingi oleh penasihat hukum atau advokat,” kata Ocotlin dalam keterangan yang diterima Hukumonline, Senin (25/4/2022).
Pasal 54 KUHAP berbunyi: “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”
Baca juga:
- Pemohon Minta Anwar Usman Tidak Ikut Mengadili Pengujian UU IKN
- Pengesahan UU IKN Potensi "Digugat" ke MK
- Dinilai Cacat Formil, Sejumlah Tokoh Minta MK Batalkan UU IKN
Ia menjelaskan selama 41 tahun berlakunya KUHAP, para advokat mengalami hambatan dalam menjalankan profesinya. “Keluhan-keluhan para advokat dalam membela kliennya yang masih dalan status tersangka juga sudah banyak terjadi terutama di KPK. Namun seorang advokat seolah tidak berdaya untuk memaksakan diri untuk mendampingi kliennya,” kata dia.
Octolin mengingatkan hak seorang saksi untuk mendapatkan penasihat hukum, pembelaan hukum termasuk bantuan hukum dijamin dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti UU HAM, UU Perlindungan Saksi dan Korban, dan UU Kekuasaan Kehakiman.