Menyoal Makna Fungsi Sosial dan Kepentingan Umum yang Melekat Pada Tanah
Terbaru

Menyoal Makna Fungsi Sosial dan Kepentingan Umum yang Melekat Pada Tanah

Jika ditinjau dari aspek politik hukumnya, frasa “tidak digunakan untuk mencari keuntungan” dalam Keppres 55/1993 yang telah dicabut, dinilai lebih menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat luas terutama para korban pembangunan.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 5 Menit

Baca:

King Faisal Sulaiman dalam penelitiannya di Jurnal Konstitusi (Maret 2021) yang berjudul Polemik Fungsi Sosial Tanah dan Hak Menguasai Negara Pasca UU Nomor 12 Tahun 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/ PUU-X/2012 mengemukakan, jika dibandingkan makna “kepentingan umum” dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 dengan UU No. 2 Tahun 2012, definisi kepentingan umum menurut Keppres No. 55 Tahun 1993 lebih mendekati makna “fungsi sosial tanah” yang diatur dalam UUPA.

Jika ditinjau dari aspek politik hukumnya, frasa “tidak digunakan untuk mencari keuntungan” dinilai lebih menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat luas terutama para korban pembangunan, ketimbang kepentingan bisnis para investor atau developer karena pada hakekatnya kelompok pemodal adalah pelaksana utama proyek-proyek pembangunan yang ada.

Menurut Faisal, negara sebagai representasi kedaulatan rakyat, berwenang menguasai tanah atau seluruh sumber daya agraria (SDA), asalkan peruntukannya, tidak merugikan dan mengorbankan kepentingan rakyat. Falsafah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa, negara sebagai organisasi kekuasaan memperoleh kewenangan dari bangsa Indonesia untuk menguasai bumi (termasuk tanah), air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hak menguasai negara tersebut digunakan dengan tujuan untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat.

UU No. 2 Tahun 2012, memberikan kewenangan yang luas bagi pemerintah dan pengusaha untuk mencabut hak kepemilikan rakyat atas tanah atas nama pembangunan demi kepentingan umum. Aturan ini, dinilai telah membonsai hak-hak rakyat kecil atas tanah termasuk tanah ulayat yang juga telah dijamin pengakuannya oleh konstitusi. Persoalan ini, berpotensi memicu terjadi konflik dan sengketa agraria seperti tindakan penggusuran paksa secara besar-besaran terhadap masyarakat yang menolak memberikan tanah tersebut.

Masih menyangkut makna kepentingan umum, dengan mengutip Roscue Pound, Faisal menjelaskan bahwa kepentingan umum harus dimaknai kepentingan negara sebagai badan hukum dan kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyrakat. Karena itu kepentingan umum dapat dipetakan menjadi tiga jenis yakni kepentingan individual (pribadi), kepentingan umum, dan kepentingan sosial. Kepentingan individu berasal dari persepktif urusan pribadi, domestik, dan hak milik. Sedangkan kepentingan umum dengan tujuan khusus untuk kepentingan negara sebagai lembaga hukum dan sebagai penjaga kepentingan sosial.

Michael G Kitay dalam Land Acquisition in Developing Countrie”s, Policies and procedures of public sector, with survey and case studies from Korea, India, Thailand, and Equador (1985), membedakan tafsir kepentingan umum menjadi dua prinsip. Pertama, prinsip general guidelines, yaitu dengan cara memberikan ketentuan umum terhadap kepentingan umum seperti kepentingan sosial, kepentingan umum, kepentingan kolektif atau bersama. General guidelines ini diberikan oleh lembaga legislatif, lalu dalam pelaksanaannya, pihak eksekutiflah yang menentukan apa saja bentuk kepentingan umum dimaksud seperti rumah sakit.

Kedua, yang disebut dengan list provisions yaitu, penentuan kepentingan umum secara eksplisit. Namun, dalam praktik, kebanyakan terjadi penggabungan kedua model tersebut terkait instrumen hukum pengadaan tanah. Selain, membuat pernyataan umum kepentingan umum, juga sudah diturunkan ke dalam daftar kegiatan secara limitatif.

Mahkamah Konstitusi sendiri melalui putusan Nomor 50/PUU-X/2012 menurut Faisal memberi legitimasi tindakan negara untuk kepentingan pelaksana utama proyek-proyek pembangunan ketimbang mendahulukan prinsip reformasi agraria. Melalui putusan ini, MK memberi makna Hak Menguasai Negara sebagai, kewenangan negara dalam pengelolaan sumber daya alam untuk membuat kebijakan (beleid), dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Faisal mengingatkan, hak menguasai negara (HMN) tidak sama dengan asas domein zaman Belanda seperti dalam Pasal 1 AB 1870. Asas domein menyerahkan sepenuhnya monopoli dan kedaulatan atas tanah kepada negara/penguasa. Sehingga negara bebas bertindak dalam kapasitas selaku badan hukum publik maupun badan hukum perdata. Negara bisa secara sepihak mengambilalih sumber daya. Negara bebas mencabut kepemilikan hak atas tanah tanpa persetujuan si pemilik. Menurut Faisal, hak menguasai untuk mengurus (beheerrecht), bukanlah sejenis hak keperdataan, melainkan suatu kewajiban sosial bagi orang (corpus) untuk menjaga dan mengurus, yang dalam konteks negara disebut kewajiban publik (publiek verplichting atau public responsibility).

Tags:

Berita Terkait