Menyoal Penerapan Qanun Jinayah dalam Kasus Kekerasan Seksual
Utama

Menyoal Penerapan Qanun Jinayah dalam Kasus Kekerasan Seksual

“Tak dapat dibandingkan antara qanun dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak karena konteksnya UU Perlindungan Anak melengkapi qanun, bukan saling berhadap-hadapan satu dengan lainnya.”

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Menurutnya, dalam kasus pemerkosaan terhadap anak dalam putusan MSA tersebut masih belum berkekuatan hukum tetap. Artinya masih ada upaya hukum kasasi di MA. Nantinya, hakim agung yang bakal memeriksa dan memutuskan. Putusan MSA sama halnya dengan banding di Pengadilan Tinggi Agama (PTA). “Dalam konteks banding, mungkin jaksanya belum bisa meyakinkan dalam pembuktikan. Jaksa harusnya membuktikan lebih bagus,” katanya.

Candra melanjutkan dalam beberapa putusan tingkat kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap terdapat persoalan. Yakni jaksa tak dapat membedakan antara khalwat (pasangan bukan muhrim) dan ikhtilat (bermesraan/bercumbu). Bila jaksa tak dapat membedakan tindak pidana dalam dakwaan akan berdampak terhadap bebasnya terdakwa dari jerat hukuman. “Karena itu pengetahuan aparat-aparat itu harus ditingkatkan,” sarannya.

Dia menyebutkan terdapat pula kasus yang terdakwa diganjar hukuman 120 kali cambuk. Tapi, dalam putusan di tingkat pertama dan banding hanya 80 kali cambuk. Padahal hukuman minimal dalam kasus tersebut 120 kali cambuk. Tak terima atas putusan tingkat pertama dan banding, jaksa pun kasasi. Ternyata, kata Candra, sang terdakwa disabilitas.

“Kalau terdakwa langsung dihukum 120 kali cambuk, langsung mati. Begitupula terhadap pelaku pemerkosa yang kakek-kakek berusia diatas 70 tahun kalau langsung dihukum cambuk langsung mati. Kita harus mempertimbangkan kondisi dan hak-hak lainnya,” kata dia.

Menurutnya, tak dapat dibandingkan antara qanun dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak karena konteksnya UU Perlindungan Anak melengkapi qanun, bukan saling berhadap-hadapan satu dengan lainnya. Dia mengakui penerapan qanun di Aceh bukan kali pertama menjadi perdebatan. Yang pasti, bila terdapat putusan bebas di pengadilan, itu sudah ada aturannya dalam Pasal 191 KUHAP.

Tags:

Berita Terkait