Menurut saya ini adalah bentuk “kebingungan” dari para pembuat RUU Hak Cipta. Coba saja kita lihat Pasal 1 butir (14) yang berbunyi :
14. Fonogram adalah Fiksasi suara pertunjukan atau suara lainnya, atau representasi suara, yang tidak termasuk bentuk Fiksasi yang tergabung dalam sinematografi atau Ciptaan audiovisual lainnya.
Pasal 1 butir (14) di atas diterjemahkan dari WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) Pasal 2 butir (b)yang berbunyi sebagai berikut :
(b) “phonogram” means the fixation of the sounds of a performance or of other sounds, or of a representation of sounds, other than in the form of a fixation incorporated in a cinematographic or other audiovisual work;
Lalu dari mana definisi Fiksasi yang dituangkan dalam RUU Hak Cipta diambil? Kuat dugaan saya, pasal itu juga adalah terjemahan dari Pasal 2 butir (c) WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) yang sedikit dikembangkan dan berbunyi sebagai berikut:
(c) “fixation” means the embodiment of sounds, or of the representations thereof, from which they can be perceived, reproduced or communicated through a device;
Para penyusun RUU Hak Cipta memasukkan definisi Fiksasi yang seharusnya hanya khusus untuk PERFORMANCE dan PHONOGRAMS ke dalam DEFINISI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA yang berlaku untuk keseluruhan hukum hak cipta di negara ini. Seharusnya jika mereka ingin memasukkan definisi Fiksasi ke dalam Undang-Undang, mereka harus memasukkan definisi yang lebih UMUM dan mencakup bagi semua jenis Ciptaan, bukan definisi khusus bagi pertunjukan atau rekaman yang dimasukkan ke dalam definisi di Undang-Undang sehingga berakibat mempersempit definisi FIKSASI secara hukum di Indonesia.