Menyoal Superioritas DPR dalam Revisi UU BUMN
Berita

Menyoal Superioritas DPR dalam Revisi UU BUMN

Rancangan aturan ini membuat kewenangan DPR lebih besar dalam pengawasan BUMN. DPR berhak menentukan jajaran direksi,komisaris hingga strategi bisnis korporasi.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian BUMN. Foto: SGP
Gedung Kementerian BUMN. Foto: SGP

Pembahasan revisi Rancangan Undang Undang (RUU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih terus berlanjut antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. RUU inisiatif DPR ini termasuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018 yang sebentar lagi memasuki masa tenggat waktu untuk disahkan.

 

Berbagai kritik terhadap isi RUU BUMN pun bermunculan. Pasalnya, isi RUU tersebut memuat kewenangan DPR dalam pengawasan BUMN menjadi lebih superior. Salah satu kewenangan tersebut yaitu penunujukkan direksi dan komisaris harus mendapat persetujuan DPR. Selain itu, DPR berhak menentukan aksi bisnis BUMN seperti privatisasi, merger, spin off (pembentukan entitas baru) dan pembentukan holding.

 

Dengan besarnya kewenangan DPR tersebut dapat dikatakan terdapat perubahan ekstrem dalam penyelenggaraan BUMN. Sebab, kewenangan pengawasan dan pengelolaan BUMN saat ini lebih didominasi pemerintah. 

 

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Totok Daryanto, menjelaskan sikap tersebut diambil untuk merespon pengelolaan BUMN oleh pemerintah yang selama ini terlalu bebas. Dia mencontohkan pemerintah dapat dengan bebas menentukan pergantian direksi BUMN tanpa alasan jelas. Dia menjelaskan salah satu contoh BUMN yang sering mengalami bongkar pasang direksi yaitu PT Pertamina Persero.

 

“Munculnya pemikiran (revisi) ini karena kami melihat perilaku pemerintah sudah melewati kewenangan yang diberikan dalam UU. Sekarang ini, direksi BUMN itu tergantung semau-maunya pemerintah atau Menteri BUMN. Bisa hari ini diangkat (direksi), tapi besok dicopot kalau mau dicopot,” kata Totok kepada hukumonline, Kamis (13/12).

 

Selain penentuan direksi, Totok juga menilai penempatan jajaran komisaris BUMN juga sering kali kental dengan kepentingan politik. Menurutnya, bongkar pasang direksi dan komisaris tersebut menimbulkan pertanyaan publik sebab dilakukan tanpa alasan kuat. Sehingga, dalam rancangan RUU tersebut, kontrol publik terhadap BUMN ini akan jauh lebih ketat.

 

“Kalau cara mengelola tidak mengindahkan prinsip manajemen dan cenderung hanya mengikuti kepentingan politik dari setiap pemerintahan yang ada maka bisa kacau itu BUMN. Saya kira bagi yang tidak setuju dengan rancangan aturan ini perlu juga melihat aspek tersebut,” tambah Totok.

Tags:

Berita Terkait