Menyongsong Normal Baru di Jalur Cepat
Tajuk

Menyongsong Normal Baru di Jalur Cepat

Ke depan, tren yang perlu diperhitungkan oleh dunia usaha kita menjadi semakin jelas.

Oleh:
Arief T Surowidjojo
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Gas pol! Itu kira-kira yang ada di benak para pengambil keputusan dalam banyak korporasi di Indonesia saat ini. Keputusan yang sama juga berlaku di belahan dunia lain, ketika angka-angka pertumbuhan ekonomi terbukti mulai membaik. Daya beli dan gairah untuk belanja juga terlihat meningkat. Dalam suatu dinner dengan sekumpulan teman, seorang bankir Jepang salah satu bank besar di Indonesia mengatakan dengan yakin bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan menempati ekonomi terbesar keempat di dunia. Alasannya semata dari prospek yang muncul dari bonus demografi kita. Perkiraannya tidak jauh dari ramalan Price Waterhouse Cooper bahwa RI akan menempati posisi kelima setelah China, AS, India, dan Jepang pada tahun 2050 berdasarkan besaran Gross Domestic Product (GDP) yang dihitung berdasarkan Power Purchase Parities (PPP), melangkahi posisi kokoh Jepang dan Jerman.

Gas Pol? Nanti dulu, not so fast. Mungkin untuk sejumlah korporasi di sejumlah bidang tertentu, gas pol merupakan aba-aba yang tepat, masuk akal dan ada dasar perhitungannya. Misalnya saja perusahaan tambang batubara, nikel, dan sejumlah hasil tambang dan mineral lain yang harga dunianya masih terbilang tinggi saat ini, gas pol mungkin jalan paling aman untuk mengisi kas mereka secepatnya, memanfaatkan harga komoditas yang meroket, sekaligus mengisi celengan mereka sebagai upaya resiliensi manakala senja harga komoditas datang.

Beberapa tahun ke depan memang masih penuh dengan ketidakpastian dan disrupsi di banyak bidang. Produksi digenjot secara besar-besaran. Akibatnya permintaan pendanaan semakin besar, manajemen operasi dengan pengetatan biaya menjadi semakin robust dan agile, sistem three lines of defence dijalankan makin ketat, dan operasi berbasis ESG (environment, social and governance) makin menjadi keniscayaan yang tidak bisa dielakkan.

Di tengah bunga bank dan inflasi yang meningkat, operasi berbasis beberapa acuan tersebut ternyata tidak mudah dan tidak murah. Bidang usaha yang masih terseok karena bukan bagian yang menerima windfall profit karena kekacauan dunia, harus berjuang lebih keras, karena kas kosong, membuat utang baru belum dipercaya, bank sudah menagih utang jatuh tempo, barang produksi terhambat supply chain yang macet, dan pasar untuk produk mereka masih malas bangun.

Persoalan utama bagi korporasi dengan bidang usaha yang mendapat berkah selama resesi dan pandemi, utamanya yang konsentrasinya ada pada bidang pertambangan fosil, tantangannya sungguh berbeda. Pertama, regulasi sudah tidak memihak mereka. Dunia menuntut semua negara yang berkomitmen dengan penanganan perubahan iklim mengeluarkan regulasi yang menghentikan eksploitasi tambang fosil, cepat atau lambat, tergantung dari kemampuan setiap negara untuk menghasilkan energi pengganti yang lebih ramah lingkungan dan terbarukan. Regulasi makin membatasi pemberian konsesi tambang fosil, pengawasan produksi makin ketat, kewajiban memasok pasar domestik meningkat, harga dikontrol, dan pengelolaan lingkungan makin ketat dan diawasi. Sementara itu regulasi juga dibuat dengan memberi insentif kepada mereka yang mengembangkan energi baru terbarukan.

Kedua, pendanaan operasi tambang fosil juga makin mengecil, baik dari dunia perbankan, investasi ekuitas, pasar obligasi dan bentuk pendanaan lainnya, sehingga makin sulit bagi industri tambang fosil untuk melakukan investasi besar-besaran. Ketiga, kondisi resesi, perang, dan pandemi pada akhirnya cepat atau lambat akan berakhir. Pada saat itu terjadi, entah kapan, harga komoditas tambang fosil juga akan ternormalisasi, apalagi dunia sudah semakin matang untuk mengembangkan industri energi baru terbarukan. Pada tahun 2022 saja, China sudah menghasilkan 2.7 triliun kWh, yang merupakan 31.6% dari total konsumsi listrik mereka. Dan pertumbuhannya akan terus cepat meningkat. Keempat, ekosistem dunia usaha kita sudah semakin menyatu dengan sistem yang berlaku di dunia. Pasar modal kita saling terhubung, dan dana investasi juga keluar masuk dalam hitungan cepat dengan menggunakan parameter dunia. Artinya kalau sistim keuangan dan bursa di dunia sakit, kita juga ikut ‘terbatuk’, walaupun ini tidak selalu terbukti pada pasar modal domestik kita yang kadangkala terisolasi dari pasar modal dunia. Yang jelas likuiditas akan terpengaruh, aliran uang kering, dan ini terbukti pada waktu resesi 2008 yang terjadi di AS dan dunia maju, dimana pada waktu itu dunia keuangan kita juga ikut masuk musim kemarau.

Ke depan, tren yang perlu diperhitungkan oleh dunia usaha kita menjadi semakin jelas:

(i) baik mereka yang terdampak buruk atau kebanjiran manfaat karena resesi, pandemi dan perang, akan berpikir ulang untuk melakukan “repurposing” bisnis mereka, mereka mulai menanyakan diri sendiri, buat apa keberadaan bisnis ini, dan apa manfaatnya buat diri sendiri, negara dan masyarakat luas; bekerja untuk memenuhi dan menggendutkan diri sendiri bukan lagi acuan terbaik dunia usaha di masa depan;

Tags:

Berita Terkait