Menyoroti Lemahnya Perlindungan Tenaga Kerja di Industri Startup
Terbaru

Menyoroti Lemahnya Perlindungan Tenaga Kerja di Industri Startup

Terdapat perusahaan startup yang tidak menerapkan ketentuan yang jelas mulai dari hubungan kerja, jam kerja, upah, lembur, bonus.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Menyoroti Lemahnya Perlindungan Tenaga Kerja di Industri Startup
Hukumonline

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) pada perusahaan rintisan berbasis teknologi atau startup menjadi perhatian publik saat ini. Padahal, industri ini digadang-gadang menjadi ekonomi baru (new economy) yang berperan mendorong perekonomian negara. Sayangnya, kemampuan bertahan industri ini jadi persoalan besar yang berefek pada aspek perlindungan tenaga kerja.

Advokat sekaligus Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia, Andy William Sinaga, menilai perlindungan tenaga kerja pada industri startup lebih lemah dibandingkan industri konvensional. Hal ini karena terdapat perusahaan startup yang tidak menerapkan ketentuan yang jelas mulai dari hubungan kerja, jam kerja, upah, lembur, bonus. Bahkan, dia juga menjelaskan terdapat perusahaan startup tidak memberikan perlindungan kerja.

“Memang ada perbedaan industri konvensional dengan startup, konvensional jelas dalam hubungan kerja, jam kerja, insentif, bonus dan lain-lain. Konvensional bisa dikatakan ada upah, pekerjaan, perintah, paling utama itu ada jam kerja jelas misalnya lebih dari 8 jam kerja ada lembur. Industri startup lahir dari perkembangan teknologi, dari sisi ketenagakerjaan di sini abu-abu yang jika dikaitkan dengan hubungan kerja tidak jelas, pekerjaannya apa, upahnya gimana, perintahnya apa, jam kerja gimana, bonus, lembur ini tidak jelas,” ungkap Andy saat dihubungi Hukumonline pada akhir pekan lalu (24/6).

Baca Juga:

Kemudian, dia juga menceritakan terdapat kasus perusahaan startup yang pemiliknya tidak berada di Indonesia karena mampu menjalankan bisnisnya secara lintas batas dengan memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini menyebabkan sulitnya menuntut pertanggungjawaban pemilik usaha terhadap perlindungan tenaga kerja. “Owner tidak di Indonesia, bahkan berada di India, Abu Dhabi, Singapur. Kalau ada cabang di Indonesia, country directornya tidak punya wewenang untuk bayar pesangon pekerja,” ungkapnya.

Indonesia sudah memiliki berbagai regulasi yang mengatur hubungan kerja dan perlindungan tenaga kerja seperti Undang Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU 11/2020 tentang Cipta Kerja serta UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sayangnya, Andy menilai regulasi tersebut belum kuat diterapkan pada industri startup yang mengakibatkan perlindungan hukum tenaga kerjanya lemah.

“Oleh karena itu, fenomena PHK startup ini, para pengelola-pengelola ini mereka lihat bahwa tidak ada perlindungan hukum yang didapatkan pekerjanya, sehingga mereka enak saja lakukan PHK,” ungkap Andy.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait