Meraba Payung Hukum untuk Tren Ekonomi Digital
Berita

Meraba Payung Hukum untuk Tren Ekonomi Digital

Regulasi yang ada dinilai cukup. Problemnya, masih tersebar-sebar.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Social Corporate Lawyers Society (Socolas). Foto: NNP
Social Corporate Lawyers Society (Socolas). Foto: NNP
Transaksi digital semakin berkembang pesat. Hal itu ditandai dengan semakin menjamurnya perusahaan-perusahaan baik baru ataupun lama yang mulai terjun ke dalam format bisnis elektronik (e-commerce). Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah sebetulnya perangkat hukum di Indonesia yang melindungi aktivitas bisnis di era tren ekonomi digital?

Dalam diskusi bertema SocoTalk Part I “The Rise of Digital Economy” yang diselenggarakan oleh Social Corporate Lawyers Society (Socolas) di Jakarta, Kamis (23/6) diangkat satu poin penting mengenai bagaimana sebetulnya pengaturan hukum di tengah meningkatnya tren ekonomi digital di Indonesia. Ini dikarenakan tren digital ekonomi mulai mengalami peningkatan yang signifikan dari segi pelaku usaha maupun market.

Salah seorang anggota Socolas, Gita Syahrani menyebutkan, era ekonomi digital sebagai satu mazhab baru perekonomian yang sedang ‘membumi’ di Indonesia. Dari segi definisi, memang belum ditemukan satu rumusan yang tepat untuk menggambarkan bagaimana ekonomi digital sebenarnya.

Setidaknya, dari berbagai literatur yang coba dikupas oleh Socolas, disimpulkan bahwa ekonomi digital merupakan ekonomi yang ditambah dengan pendekatan teknologi. “Ini ekonomi yang berbasis internet atau  e-economy,” ujarnya.

Jika dirinci, makna ‘ekonomi’ terdiri dari aspek mikro, makro, perdagangan dan finansial. Sementara, maka ‘teknologi’ terdiri dari aspek telekomunikasi, jaringan internet, dan informasi teknologi. Berangkat dari poin itu, Gita mencoba menelusuri apakah terdapat payung hukum yang dapat menjadi basis bagi ekonomi digital di Indonesia.

Regulasi demi regulasi coba ditelusuri dan dikupas guna mencari payung hukum yang tepat atau setidak-tidaknya mengarah pada kesimpulan akan kebutuhan satu regulasi baru. “Kira-kira nyambungnya dimana, ternyata ada yang bisa dicantolin,” pikirnya.

Dari sisi ekonomi, Gita mencatat ada sejumlah regulasi yang bisa menjadi cantolan bagi pelaku ekonomi digital untuk menjalankan aktivitas bisnisnya mulai dari UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, UU Lembaga Pembiayaan.

Sementara, dari segi teknologi terdapat UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Selain payung hukum yang dapat dijadikan sebagai cantolan untuk aktivitas bisnis, Gita juga melihat ada dua aspek penting lainnya yang perlu payung hukum, yakni dari sisi pelaku atau subjek hukum dan dampak yang terasosiasi.

Menurut Gita, payung hukum untuk memfasilitasi pelaku usaha secara umum sudah cukup baik. Antara lain, UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, dan UU Nomor 28 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Sementara, dari segi dampak yang terasosiasi, Gita melihat ada beberapa isu penting yang wajib diperhatikan oleh pelaku usaha terkait hak kekayaan intelektual, perlindungan konsumen, anti monopoli serta pencucian uang. “Yang masih tanda tanya bagaimana dengan aspek perpajakan dan soal privasi data,” sebutnya.

Menambahkan koleganya, Louise Patricia Esmeralda menilai sejumlah regulasi yang disebutkan Gita sudah sangat memadai, terutama mengakomodir dari segi ekonomi dan teknologi. Poin yang penting, lanjutnya, adalah persoalan bahwa peraturan tersebut masih tersebar di berbagai bidang atau sektor masing-masing. Pertanyaannya, bagaimana mau mengumpulkan dan mengatur lebih lanjut?

“Sudah cukup dengan perangkat yang ada, belum ada urgensi bangun perangkat hukum baru,” kata Louise.

Menurut Louise, belum terdapat kebutuhan untuk membuat payung hukum misalnya RUU Ekonomi Digital. Namun, lanjutnya, yang mesti dilakukan pemerintah adalah menunjuk satu kementerian sebagai koordinator dalam pelaksanaan ekonomi digital. Terlepas dari hal itu, secara prinsip, konsep ekonomi digital merupakan ekonomi klasik yang diberikan pendekatan teknologi.

Bila ekonomi klasik hanya fokus untuk memikirkan masalah tenaga kerja, modal, aset. Dalam konteks ekonomi digital, perhatian pelaku usaha juga akan tertuju pada investasi terhadap teknologi yang boleh dibilang tidak kasat mata. “Pemerintah tunjuk menteri itu sudah cukup daripada bentuk satu payung hukum baru misalnya UU Payung hukum digital. Sejauh ini cukup UU, tinggal dikoordinir aja,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait