Meretas Kebuntuan Pemenuhan Hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian
Kolom

Meretas Kebuntuan Pemenuhan Hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian

Perlu ada pembentukan lembaga penjamin yang mampu mengawal secara proaktif dan efektif pelaksanaan putusan pengadilan terkait hak-hak pasca perceraian.

Bacaan 6 Menit

Di tengah ketiadaan lembaga yang mengawal pelaksanaan putusan pengadilan di Indonesia, maka pengadilan dapat memerintahkan kepada bendahara di instansi pemerintah tempat bekas suami bekerja untuk melakukan pemotongan gaji dan melakukan pembayaran nafkah kepada bekas istri dan anak.

Hak nafkah istri dalam cerai gugat

Terkait dengan tunjangan nafkah pasca perceraian bagi perempuan Muslim, yang mencakup nafkah ‘iddah dan mut’ah dalam perkara cerai talak di lingkungan peradilan agama, untuk menjamin pemenuhan nafkah ‘iddah dan mut’ah bagi mantan istri, terdapat hasil rapat pleno Kamar Agama Mahkamah Agung RI yang dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 tahun 2017, yang mengatur bahwa dalam amar putusan dicantumkan pembayaran kewajiban pasca perceraian dibayar sebelum pengucapan ikrar talak, untuk menjamin bahwa suami telah memenuhi kewajibannya sebelum mengucapkan ikrar talak.

Problem yang muncul adalah dalam hal perceraian diajukan oleh pihak istri atau cerai gugat, maka istri tidak memiliki hak untuk menuntut nafkah ‘‘iddah dan mut’ah. Hal demikian karena konstruksi hukum perceraian dalam Islam menempatkan suami sebagai pemilik hak talak, yang tidak dimiliki oleh pihak istri, sehingga ketika istri yang meminta cerai, istri tidak berhak untuk menuntut nafkah ‘iddah dan mut’ah. Namun, ketika pihak suami sebagai pemilik hak talak menjatuhkan talak terhadap istri, suami wajib untuk memberikan nafkah ‘iddah dan mut’ah kepada pihak istri.

Dalam cerai gugat, hak talak suami diambil alih oleh pengadilan, sehingga amar putusan berbunyi menjatuhkan talak satu bain sughra suami (Tergugat) terhadap istri (Penggugat). Selaras dengan konstruksi hukum perceraian yang demikian, maka pembebanan kewajiban nafkah pasca perceraian dalam hukum Islam didasarkan pada jenis kelamin, yaitu laki-laki, bukan berdasarkan kemampuan pasangan, seperti dalam hukum perdata Barat.

Dalam kerangka kerja hukum yang demikian, maka logis ketika pihak istri yang mengajukan perceraian, pihak istri tidak berhak untuk mendapatkan nafkah ‘iddah dan mut’ah. Berbeda dalam kerangka kerja hukum perceraian yang menempatkan suami dan istri dalam kedudukan yang sama, dan hakim yang berwenang untuk memutuskan perkawinan, kewajiban nafkah dibebankan kepada pasangan yang lebih mampu secara finansial, bukan berdasarkan kepada jenis kelamin.

Ketika dalam cerai gugat pihak istri tidak berhak untuk mendapatkan nafkah ‘iddah dan mut’ah, sementara sebagian besar perkara perceraian di pengadilan agama diajukan oleh pihak istri, kemudian bagaimana dengan pemenuhan hak-hak istri pasca perceraian dalam perkara cerai gugat? Dalam hal ini, terdapat hasil rapat pleno Kamar Agama Mahkamah Agung RI yang dituangkan dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa istri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut’ah dan nafkah ‘iddah sepanjang tidak nusyuz. Redaksi “dapat diberikan,” menunjukkan bahwa hakim karena jabatannya atau secara ex-officio dapat membebankan kewajiban kepada suami untuk memberikan nafkah ‘iddah dan mut’ah bagi mantan istri, dan bukan didasarkan atas tuntutan pihak istri, karena pada dasarnya memang istri tidak berhak.

Ketentuan hasil rapat pleno tersebut sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 137/K/Ag/2007 tanggal 6 Februari 2008, namun yurisprudensi tersebut hanya terbatas pada nafkah ‘iddah. Pertimbangan dalam yurisprudensi tersebut karena pihak istri tidak nusyuz, dan tetap wajib menjalankan ‘iddah, sementara tujuan ‘iddah untuk mengetahui kebersihan rahim yang menjadi kepentingan pihak suami.

Tags:

Berita Terkait