Meretas Kebuntuan Pemenuhan Hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian
Kolom

Meretas Kebuntuan Pemenuhan Hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian

Perlu ada pembentukan lembaga penjamin yang mampu mengawal secara proaktif dan efektif pelaksanaan putusan pengadilan terkait hak-hak pasca perceraian.

Bacaan 6 Menit
Muhamad Isna Wahyudi. Foto: Istimewa
Muhamad Isna Wahyudi. Foto: Istimewa

Meski hak-hak pasca perceraian bagi perempuan dan anak secara hukum telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, tampaknya belum ada jaminan yang jelas terkait hal tersebut. Ketiadaan jaminan tersebut telah menjadikan putusan-putusan pengadilan hanya sebatas memberikan keadilan di atas kertas, namun tidak dapat diwujudkan dalam kenyataan, sehingga menimbulkan masalah finansial yang cukup signifikan bagi sebagian besar perempuan yang mengasuh dan memelihara anak pasca perceraian.

Dengan tingginya tingkat perceraian di Indonesia, maka ketiadaan jaminan pemenuhan hak-hak pasca perceraian sangat berpengaruh bagi kelangsungan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Sayangnya, negara hingga saat ini seolah tidak menyadari persoalan yang penting ini.

Hambatan pemenuhan nafkah pasca perceraian

Sejauh pengamatan Penulis, masih terdapat hambatan-hambatan dalam pemenuhan hak-hak pasca perceraian bagi perempuan dan anak. Pertama, terkait dengan tunjangan nafkah bagi bekas istri dan anak. Sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf b dan c Undang-Undang Perkawinan, apabila pihak bekas suami tidak melakukan kewajiban yang dibebankan oleh pengadilan secara sukarela, pembayaran tunjangan nafkah yang dilakukan setiap bulan akan menuntut permohonan eksekusi yang berulang-ulang. Sementara untuk mengajukan eksekusi juga diperlukan biaya yang tidak sedikit dan akan membebani pihak pemohon eksekusi, apalagi jika berasal dari pihak yang tidak mampu.

Kedua, bagi perempuan Muslim, tunjangan nafkah pasca perceraian yang mencakup nafkah ‘iddah dan mut’ah sebagaimana diatur dalam Pasal 149 dan Pasal 158 Kompilasi Hukum Islam, hanya dapat dituntut dalam hal perkara perceraian diajukan oleh pihak suami atau cerai talak selama istri tidak nusyuz, dan dalam hal suami yang telah diberikan izin oleh pengadilan agama untuk menjatuhkan talak di depan sidang pengadilan tidak menggunakan haknya, putusan menjadi gugur, dan kondisi demikian sering terjadi ketika pihak suami merasa keberatan dengan kewajiban yang dibebankan oleh pengadilan bagi bekas istri. Begitupun, ketika suami menggunakan haknya untuk menjatuhkan talak di depan sidang pengadilan, pemenuhan nafkah ‘iddah dan mut’ah menjadi sangat tergantung atas kemauan pihak suami, karena besar biaya nafkah ‘iddah dan mut’ah yang tidak begitu besar, dan jika harus mengajukan permohonan eksekusi akan memerlukan biaya yang tidak sedikit sehingga membebani pihak pemohon terutama dari pihak yang tidak mampu.

Lembaga penjamin

Terkait hambatan eksekusi, maka diperlukan lembaga penjamin yang mengawal pelaksanaan putusan pengadilan terkait hak-hak pasca perceraian, sehingga pihak bekas istri tidak perlu mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan, tetapi cukup melapor ke lembaga penjamin. Lembaga ini yang akan melakukan pengawasan terhadap bekas suami untuk melaksanakan putusan pengadilan, termasuk untuk melakukan pemanggilan, penyitaan, pelelangan, pengalihan hutang dan pembayaran, serta bekerja sama dengan otoritas pengelola keuangan, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, untuk dapat melakukan pemotongan gaji bekas suami dan melakukan pembayaran nafkah kepada pihak bekas istri. Dalam hal ini diperlukan regulasi untuk membentuk lembaga penjamin.

Di Malaysia lembaga seperti itu telah dibentuk sejak 7 Juni 2007, yang bernama Bahagian Sokongan Keluarga (BSK), untuk menyelesaikan permasalahan nafkah istri dan anak yang tidak dipenuhi oleh pihak suami baik selama perkawinan atau pasca perceraian secara proaktif dan efektif. BSK terdiri dari tiga unit yaitu Unit Khidmat Nasihat dan Perundangan, Unit Penguatkuasaan dan Pelaksanaan Perintah, dan Unit Pengurusan Dana.

Sementara ini, regulasi atas jaminan pemenuhan nafkah bagi bekas istri dan anak, masih terbatas bagi istri dan anak Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam Pasal 8 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, apabila perceraian atas kehendak PNS pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya, dengan pembagian gaji sepertiga untuk PNS pria, sepertiga untuk bekas istrinya, dan sepertiga untuk anaknya.

Di tengah ketiadaan lembaga yang mengawal pelaksanaan putusan pengadilan di Indonesia, maka pengadilan dapat memerintahkan kepada bendahara di instansi pemerintah tempat bekas suami bekerja untuk melakukan pemotongan gaji dan melakukan pembayaran nafkah kepada bekas istri dan anak.

Hak nafkah istri dalam cerai gugat

Terkait dengan tunjangan nafkah pasca perceraian bagi perempuan Muslim, yang mencakup nafkah ‘iddah dan mut’ah dalam perkara cerai talak di lingkungan peradilan agama, untuk menjamin pemenuhan nafkah ‘iddah dan mut’ah bagi mantan istri, terdapat hasil rapat pleno Kamar Agama Mahkamah Agung RI yang dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 tahun 2017, yang mengatur bahwa dalam amar putusan dicantumkan pembayaran kewajiban pasca perceraian dibayar sebelum pengucapan ikrar talak, untuk menjamin bahwa suami telah memenuhi kewajibannya sebelum mengucapkan ikrar talak.

Problem yang muncul adalah dalam hal perceraian diajukan oleh pihak istri atau cerai gugat, maka istri tidak memiliki hak untuk menuntut nafkah ‘‘iddah dan mut’ah. Hal demikian karena konstruksi hukum perceraian dalam Islam menempatkan suami sebagai pemilik hak talak, yang tidak dimiliki oleh pihak istri, sehingga ketika istri yang meminta cerai, istri tidak berhak untuk menuntut nafkah ‘iddah dan mut’ah. Namun, ketika pihak suami sebagai pemilik hak talak menjatuhkan talak terhadap istri, suami wajib untuk memberikan nafkah ‘iddah dan mut’ah kepada pihak istri.

Dalam cerai gugat, hak talak suami diambil alih oleh pengadilan, sehingga amar putusan berbunyi menjatuhkan talak satu bain sughra suami (Tergugat) terhadap istri (Penggugat). Selaras dengan konstruksi hukum perceraian yang demikian, maka pembebanan kewajiban nafkah pasca perceraian dalam hukum Islam didasarkan pada jenis kelamin, yaitu laki-laki, bukan berdasarkan kemampuan pasangan, seperti dalam hukum perdata Barat.

Dalam kerangka kerja hukum yang demikian, maka logis ketika pihak istri yang mengajukan perceraian, pihak istri tidak berhak untuk mendapatkan nafkah ‘iddah dan mut’ah. Berbeda dalam kerangka kerja hukum perceraian yang menempatkan suami dan istri dalam kedudukan yang sama, dan hakim yang berwenang untuk memutuskan perkawinan, kewajiban nafkah dibebankan kepada pasangan yang lebih mampu secara finansial, bukan berdasarkan kepada jenis kelamin.

Ketika dalam cerai gugat pihak istri tidak berhak untuk mendapatkan nafkah ‘iddah dan mut’ah, sementara sebagian besar perkara perceraian di pengadilan agama diajukan oleh pihak istri, kemudian bagaimana dengan pemenuhan hak-hak istri pasca perceraian dalam perkara cerai gugat? Dalam hal ini, terdapat hasil rapat pleno Kamar Agama Mahkamah Agung RI yang dituangkan dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa istri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut’ah dan nafkah ‘iddah sepanjang tidak nusyuz. Redaksi “dapat diberikan,” menunjukkan bahwa hakim karena jabatannya atau secara ex-officio dapat membebankan kewajiban kepada suami untuk memberikan nafkah ‘iddah dan mut’ah bagi mantan istri, dan bukan didasarkan atas tuntutan pihak istri, karena pada dasarnya memang istri tidak berhak.

Ketentuan hasil rapat pleno tersebut sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 137/K/Ag/2007 tanggal 6 Februari 2008, namun yurisprudensi tersebut hanya terbatas pada nafkah ‘iddah. Pertimbangan dalam yurisprudensi tersebut karena pihak istri tidak nusyuz, dan tetap wajib menjalankan ‘iddah, sementara tujuan ‘iddah untuk mengetahui kebersihan rahim yang menjadi kepentingan pihak suami.

Untuk menjamin pemenuhan nafkah ‘iddah dan mut’ah dalam perkara cerai gugat, hasil rapat pleno Kamar Agama Mahkamah Agung RI yang dituangkan dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2019 telah mengatur agar amar pembayaran kewajiban suami terhadap istri pasca perceraian dalam perkara cerai gugat dilengkapi dengan “yang dibayar sebelum Tergugat mengambil akta cerai,” dengan ketentuan amar tersebut dinarasikan dalam posita dan petitum gugatan. Dengan cara demikian diharapkan dapat menjamin bahwa suami akan memenuhi kewajiban pasca perceraian sebelum mengambil akta cerai.

Karena pemberian nafkah’iddah dan mut’ah dalam perkara cerai gugat merupakan diskresi hakim, hakim memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan pemenuhan nafkah ‘iddah dan mut’ah bagi bekas istri. Namun demikian, diskresi hakim tentu harus tetap didasarkan kepada pertimbangan yang fair dan imparsial demi mewujudkan keadilan dan dengan tetap mempertimbangkan kemampuan ekonomi pihak suami.

Pembentukan lembaga penjamin yang mampu mengawal secara proaktif dan efektif pelaksanaan putusan pengadilan terkait hak-hak pasca perceraian bagi perempuan dan anak mendesak untuk segera dilakukan dan perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Hal ini dikarenakan Lembaga tersebut berperan penting bagi dukungan finasial bagi perempuan dan anak-anak pasca perceraian, yang akan sangat berpengaruh bagi kelangsungan dan kualitas generasi penerus bangsa.

*)Muhamad Isna Wahyudi, Ketua Pengadilan Agama Kuala Kapuas, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait