Meski Diatur UU ITE, Pemerintah Diminta Berdialog Sebelum Blokir Situs
Berita

Meski Diatur UU ITE, Pemerintah Diminta Berdialog Sebelum Blokir Situs

Memberikan dan meminta penjelasan sebelum menggunakan kewenangan pemblokiran. Pemerintah pusat dan daerah mesti memaksimalkan kehumasan dalam menangkal berita hoax.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) telah memblokir sebelas situs. Tindakan Kemenkominfo sebagai upaya dalam rangka meredam beredarnya berita bohong alias hoax. Langkah tersebut belakangan menuai protes dari sebagian kalangan, sebab dinilai memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia maya.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, pemerintah meski diberikan wewenang melalui UU No.19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak berarti dapat serta merta memberangus media di dunia internet. Sebaliknya, pemerintah mestinya memberikan penjelasan alasan kepada pengelola situs berita.

Menurutnya, banyak orang yang membut media di era teknologi saat ini. Oleh sebab itu, yang dapat dilakukan pemerintah adalah ketika situs tersebut adalah pers, maka dapat dikaitkan dengan sanksi administrasi sesuai dengan UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. (Baca Juga: Begini Tips Hindari Ancaman Pidana Menyebarkan Hoax)

“Karena pada dasarnya by teknologi tidak mungkin lagi, itu yang namanya blokir-blokir sudah nggak mungkin kecuali shutdown system, tapi kita punya satelit-satelit dari negara lain bisa dijamah oleh kita‎,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Senin (9/1).

Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Zainut Tauhid Sa’adi, mengatakan pemblokiran situs islam sepihak oleh Kemenkominfo merupakan langkah mundur dalam pembangunan sistem demokrasi di Indonesia. Menurutnya, pemblokiran situs mestinya didahului dengan proses hukum karena Indonesia merupakan negara yang berdasar hukum.

Dia mengatakan, pemerintah tak boleh melakukan pendekatan kepada masyarakat dengan pendekatan kekuasaan semata. Terlebih, pemblokiran yang dilakukan Kemenkominfo dinilai tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu terkait batasan paham radikal dimaksud. (Baca Juga: UU ITE Baru dan Risiko Hukum Bagi Pengguna Media Sosial)

Terhadap tindakan tersebut, kata Zainut, dipandang sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia maya. Padahal, kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin oleh konstitusi dan UU.

“Kenapa situs agama lain yang juga memiliki paham radikal, provokatif dan anti NKRI dibiarkan dan tidak diblokir? Semua agama ketika berbicara masalah keyakinan, aqidah atau yang bersifat dogmatis pasti bersifat benar atau salah. Jadi harus ada penjelasan dan batasan yang jelas dari pengertian paham radikal itu sendiri,” ujarnya.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu meminta Kemenkominfo melakukan evaluasi kebijakan terhadap pemblokiran sebelas situs. Tak hanya itu, Kemenkominfo diharapkan membuka ruang dialog sebelum melakukan pemblokiran situs apapun yang bersifat keagamaan. Dengan begitu, basis argumentasinya menjadi jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.(Baca Juga: Seribu Wajah UU ITE Baru)

“Kami meminta kepada Kominfo untuk mengevaluasi kebijakannya dan mengharapkan untuk membuka ruang dialog sebelum melakukan pemblokiran terhadap situs, apa pun khususnya yang bersifat keagamaan,” ujar anggota Zainut yang duduk sebagai anggota Komisi IV DPR itu. 

Zainut menilai maraknya berita hoax alias bohong menunjukan peran pemerintah kurang maksimal sebagai sumber informasi. Menurutnya, maraknya sebaran berita hoax di media sosial lantaran masyarakat kerap penasaran dengan pernyataan yang dikeluarkan pemerintah.

Pasalnya, pernyataan pemerintah dinilai tak komprehensif. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan memperbaiki diri di internal terlebih dahulu sebelum mengeluarkan pernyataan. Misalnya, jumlah data TKA asal Tiongkok yang tidak seragam antara pernyataan lembaga satu dengan lainnya, bahkan dengan presiden.

“Kalau masalah hoax ini relatif saja. Karena produksi berita bohong potensinya yang terbesar itu pemerintah, bukan masyarakat,” tukasnya.

Aparatur harus sigap
Sementara itu, Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo menilai manajemen komunikasi pemerintah terbilang lemah. Oleh sebab itu, pemerintah di bawah kepemimpinan Joko Widodo mesti mendorong serta mewajibkan semua kementerian dan lembaga pusat dan daerah sigap dalam merespon berita hoax.

“Kekacauan bisa ditangkal dan tertib umum akan terjaga jika aparatur pemerintah pusat dan daerah sigap meluruskan berita bohong,” ujarnya.

Menurutnya, efektivitas fungsi kehumasan dan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi di semua kementerian dan lembaga pusat dan daerah mesti ditingkatkan. Biro kehumasan tak boleh lagi pasif, namun aktif. Sebab puluhan bahkan ratusan berita bohong beredar setiap saat melalui sarana media sosial.

“Karena terkait erat dengan hak publik memanfaatkan Medsos, penyebaran hoax menjadi sulit ditangkal. Membentuk sebuah institusi untuk mencegah atau menangkal hoax tidaklah fisibel. Satu-satunya langkah yang cukup efektif menangkal hoax adalah kesigapan merespons berita bohong itu dengan menyebarluaskan berita yang benar dan informasi yang akurat,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait